Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta DPR RI untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja karena dinilai akan merugikan kaum buruh dan tenaga kerja. Ketua KSPI Said Iqbal menilai perlindungan terhadap buruh dan tenaga kerja tak tercermin dalam aturan tersebut.
"DPR harus menolak karena buruh juga punya hak dan kewajiban di negeri ini terhadap perlindungan," kata Said Iqbal saat berdemonstrasi di depan Gedung MPR DPR Jakarta, Senin (20/1) dikutip dari Antara.
Selain itu, kata Said, pemerintah seharusnya juga memberikan perlindungan terhadap kepastian kerja, jaminan sosial, serta kepastian upah. Ia menilai omnibus law akan membuat masa depan pekerja, calon-calon tenaga kerja, orang muda yang akan memasuki tenaga kerja tanpa perlindungan.
(Baca: Tolak RUU Omnibus Law, Buruh Rencanakan Unjuk Rasa dan Mogok Kerja)
Pada prinsipnya, KSPI setuju dengan sikap Presiden Jokowi yang ingin mengundang investasi ke Tanah Air dengan tujuan membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Namun, hal itu harus pula membuat perlindungan kaum buruh.
"Kami setuju Jokowi yang ingin mengundang investasi sehingga terbuka lapangan kerja. Tapi yang tidak kami setuju ketika investasi masuk maka tidak ada perlindungan bagi kaum buruh," ujar dia.
Jika pemerintah tak membuat perubahan, KSPI menganggap sama saja dengan proteksi terhadap kepemilikan modal. Apalagi, mulai dari Satuan tugas (Satgas) diketuai oleh Ketua Umum Kadin dan semua anggotanya adalah asosiasi pengusaha.
(Baca: Protes Omnibus Law, Buruh Siap Mogok Kerja Nasional)
"Maka kami katakan RUU Cipta Lapangan Kerja bercita rasa pengusaha karena tak ada satu pun serikat buruh yang dilibatkan dalam prosesnya," kata dia.
Ia menambahkan oleh karena itu, KSPI meminta DPR sungguh-sungguh karena di 22 provinsi di antaranya Surabaya, Bandung, Batam, Makasar, Gorontalo, Aceh, Medan, Bengkulu, Semarang, Lampung dan daerah lainnya juga bergerak bersama untuk ini.
Dalam orasinya, perwakilan kaum buruh juga mengkhawatirkan sistem kerja yang dibayarkan sesuai dengan jam kerja. Aturan ini dianggap sama sekali tidak berpihak pada pekerja dan cenderung menguntungkan pengusaha.
(Baca: Jokowi Beri Dua Jempol Jika DPR Rampungkan Omnibus Law dalam 100 Hari)
Sebelumnya, Rapat Kerja (Raker) Badan Legislasi (Baleg) bersama Menteri Hukum dan HAM, serta DPD RI pada Kamis (16/1) menyetujui 50 Rancangan Undang-Undang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020.
"Pada prinsipnya 50 RUU sudah ditetapkan masuk Prolegnas prioritas 2020," kata Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas.
Dia mengatakan dari 9 fraksi, sebanyak 6 fraksi menyatakan bulat mendukung dan tiga fraksi setuju dengan memberikan catatan yaitu Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDIP, dan Fraksi Partai NasDem.
Dari 50 RUU tersebut, terdapat dua RUU yang masuk Omnibus Law dan menjadi prioritas untuk dibahas segera yaitu RUU tentang Cipta Lapangan Kerja dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.
(Baca: Jokowi Targetkan Draf Omnibus Law Rampung sebelum 100 Hari Kerja)
Menteri Hukum dan HAM Yassona H Laoly mengatakan pemerintah akan segera mengeluarkan dua Surat Presiden (Surpres) tentang Omnibus Law, setelah Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020 disahkan DPR.
"Mudah-mudahan bisa segera disahkan, dan saya dengar pekan depan yaitu Selasa (20/1), DPR melaksanakan Paripurna. Kalau itu diserahkan maka pemerintah akan memasukan dua Surpres tentang Omibus Law," kata Yassona usai Rapat Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan Omnibus Law tersebut yaitu Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan yang ditargetkan selesai dalam waktu 100 hari kerja.
Yassona berharap akhir pekan ini draft dan naskah akademik RUU Omnibus Law sudah sempurna sehingga paling tidak sudah menjadi draf RUU yang nanti mendapatkan persetujuan menjadi UU.
(Baca: Menperin Harap Skema Upah Pekerja per Jam untuk Tingkatkan Investasi)