PHRI Sebut Kebijakan Bebas Visa Tak Signifikan Dongkrak Turis Asing

Arief Kamaludin|KATADATA
Ketua PHRI Hariyadi Sukamdani menilai strategi promosi yang tepat lebih dibutuhkan untuk mendorong pariwisata di dalam negeri.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Agustiyanti
23/1/2020, 20.13 WIB

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia menilai kebijakan bebas visa kunjungan kepada turis asal 169 negara  yang berlaku selama ini tak  berdampak signifikan terhadap pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara. Ketimbang pembebasan visa, pariwisata Indonesia dinilai lebih membutuhkan strategi promosi yang tepat.

"Dampaknya tidak besar. Justru yang harus dipikirkan bagaimana promosinya," kata Ketua PHRI Hariyadi Sukamdani di Jakarta, Kamis (23/1).

Menurut Hariyadi dibutuhkan promosi pariwisata secara terarah guna meningkatkan kunjungan wisman. Adapun hal ini dapat didukung dengan pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI). 

 (Baca: Jurnalis Mongabay Asal AS Ditahan Imigrasi Palangkaraya)

Ia pun berharap, BPPI tersebut dapat menjadi badan layanan umum atau BLU sehingga dapat mandiri dengan menghimpun dana dari industri dan pihak ketiga.

Adapun kajian ulang terhadap aturan bebas visa dinilai dibutuhkan. Pemerintah, menurut Hariyadi, perlu melihat dampak kebijakan tersebut secara menyeluruh terhadap kunjungan wisman dan keaman di dalam negeri. 

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI Habib Aboe Bakar Alhabsyi  mendukung rencana pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan bebas visa kunjungan 169 negara ke Indonesia. Hal ini lantaran pelanggaran keimigrasian makin meningkat sejak diberlakukannya kebijakan tersebut pada Maret 2016 lalu.

(Baca: Target Kunjungan Turis Asing Tahun Ini Diturunkan Jadi 17 Juta )

"Kita belum nyaman dengan pembebasan visa, dan kami menilai antara uang yang masuk dan hilang sama. Untuk itu, kita berharap kebijakan ini ditinjau ulang," ujar dia seperti dikutip dari laman DPR.

Menurutnya, pengawasan orang asing sempat dilakukan oleh Kepolisian. Namun, saat ini pengawasan tersebut diambil alih oleh Kementerian Hukum dan HAM.

“Pengawasannya diambil alih. Namun saat ini ternyata itu tidak berjalan baik karena masih ada ego sektoral," jelas dia. 

Reporter: Rizky Alika