LGBT Wajib Lapor, Ini Pasal Kontroversial RUU Ketahanan Keluarga

Arief Kamaludin|KATADATA
DPR Mengusulkan RUU Ketahanan keluarga dalam Prolegnas 2020. Namun RUU tersebut dinilai berisi pasal-pasal kontroversial.
Penulis: Ameidyo Daud
20/2/2020, 16.09 WIB

Sebuah draf aturan bernama Rancangan Undang-undang Ketahanan keluarga muncul dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 dan menimbulkan kontroversi. Rancangan ini menuai kritik lantaran dianggap berpotensi membuat negara mencampuri urusan pribadi masyarakat.

RUU Ketahanan Keluarga diusulkan oleh lima orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yakni Sodik Mudjahid dari Gerindra, Endang Maria Astuti dari Golkar, Ali Taher dari Partai Amanat Nasional, serta Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Partai Keadilan Sejahtera.

Dalam draf RUU yang diterima Katadata.co.id,  alasan regulasi ini muncul lantaran payung hukum yang mengatur keluarga masih terpisah. Namun berbagai pasal yang ada dalam RUU tersebut dianggap aneh.  “Itu kesalahan fatal dan akan melanggar Hak Asasi Manusia,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (PusaKo) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari hari Rabu (19/2).

(Baca: Kinerja Pendahulu Buruk, Anggota DPR 2019-2024 Diminta Berbenah)

Salah satu poin kontroversial adalah ketentuan wajib lapor terhadap pihak yang dianggap homoseksual, lesbian, sadisme, masokhisme, dan orang yang melakukan aktivitas seksual dengan sedarahnya (incest). Dalam Pasal 75 ayat (3) mereka dituding sebagai penyebab krisis keluarga. Sedangkan homoseksual dan lesbian acapkali diasosiasikan dengan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender).

“Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor, rehabilitasi untuk Keluarga yang alami krisis diatur dengan Peraturan Pemerintah,” demikian keterangan Pasal 89 RUU Ketahanan keluarga.

Poin lain adalah Pasal 31 yang mengatur ancaman pidana penjara 7 tahun bagi para donor sperma dan ovum. Tak hanya donor, surogasi atau sewa rahim juga dibayangi ancaman pidana seperti tertera dalam Pasal 32 RUU ini.

“Setiap orang dilarang melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan,” demikian bunyi Pasal 32 RUU Ketahanan Keluarga.

Selain itu beberapa substansi aturan keluarga tersebut mengundang polemik meski tak memiliki konsekuensi hukum. Dalam Pasal 24 ayat (2) menjelaskan bahwa setiap suami dan istri wajib saling mencintai.

Pasal 25 juga memisahkan suami dan istri dalam menjalankan tugasnya membina rumah tangga. Suami wajib memberikan keperluan hidup rumah tangga sesuai kemampuannya. Sedangkan istri harus mengatur urusan rumah tangga.

Feri mengkritik aturan model ini lantaran peran dan kewajiban tiap orang dalam keluarganya berbeda-beda. “Ada suami yang di rumah menjaga keluarga, ada yang sepakat keduanya bekerja. Nah itu tidak perlu masuk ruang negara," kata dia.

RUU Ketahanan Keluarga Belum Tentu Lolos DPR

Namun pimpinan DPR menyatakan RUU ini masih dalam tahap sinkronisasi dan memerlukan masukan dari masyarakat  luas. Wakil ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan lantaran RUU ini hanya masukan dari beberapa anggota dewan, maka kelanjutannya masih belum dapat dipastikan.

Dasco menjelaskan lampu hijau dari masing-masing fraksi di DPR diperlukan untuk melanjutkan pembahasan RUU Ketahanan Keluarga.  “Nanti kami akan lihat apakah bisa dilanjutkan atau tidak,” katanya, Kamis (20/2).

(Baca: Tak Ada RUU yang Selesai dari Komisi VI DPR selama 2014-2019)

Ketua Fraksi Golkar Nurul Arifin memastikan partai beringin menarik diri dari dukungan RUU tersebut. Bahkan Nurul merasa kecolongan lantaran seorang anggota fraksinya mengusung rancangan regulasi baru itu. “Seharusnya yang bersangkutan berkonsultasi kepada fraksi sebelum jadi pengusung suatu RUU,” kata Nurul.

Nurul yang juga menyatakan keberatannya ke Badan Legislasi (Baleg) DPR lantaran menganggap RUU Ketahanan Keluarga hanya bertujuan mendidik keluarga secara homogen. “Setiap keluarga, bahkan anak memiliki entitasnya masing-masing,” ujar politisi asal Bandung tersebut.

Sedangkan Ali Taher beralasan rapuhnya kondisi keluarga Indonesia jadi alasan dia mengajukan RUU Ketahanan Keluarga. Ali juga mengatakan payung hukum ini tak bermaksud membuat negara ikut campur urusan privat masyarakat. "Faktanya masih ada kekerasan rumah tangga, baik itu rumah tangga maupun anak-anak katanya.