Perekonomian Lesu, Produksi Baja Dunia Anjlok 2,8%

ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
Petugas beraktivitas di pabrik pembuatan baja Kawasan Industri Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (4/10/2019).
Penulis: Ekarina
27/11/2019, 15.57 WIB

Produksi baja mentah global turun 2,8% periode Oktober 2019 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan produksi itu dipicu oleh kelesuan ekonomi negara-negara dunia sehingga mengurangi permintaan barang logam untuk sektor konstruksi dan infrastruktur tersebut.

Data Asosiasi Baja Dunia menunjukkan, produksi  baja secara keseluruhan pada 10 bulan pertama tahun ini, naik 3,2% ditopang oleh kenaikan produksi awal tahun dari produsen utama Tiongkok.

Namun, produksi baja diramal akan kembali melemah beberapa bulan mendatang. "Ini sejalan dengan lesunya pertumbuhan ekonomi di negara-negara utama konsumen baja dunia," Kepala Ekonom Komoditas di Capital Economic dalam catatannya, dilansir dari Reuters, Rabu (27/11).

(Baca: Selamatkan Industri Baja Nasional, Pemerintah Siapkan Regulasi Baru)

Di Uni Eropa misalnya, produksi baja pada Oktober 2019 anjlok hingga 8,7%. Beberapa perusahaan Benua Biru bahkan telah mengumumkan rencana pengurangan produksi tahun ini sedikitnya  15 juta ton, menurut badan perdagangan Eurofer.

"Lemahnya permintaan regional telah menjadi faktor utama yang membebani profitabilitas produsen Uni Eropa...pemulihannya tidak mungkin dalam waktu dekat," kata Bain.

Di sisi lain, Tiongkok sebagai salah satu produsen baja terbesar duia juga mencatat penurunan produksi 0,6% pada Oktober. Sebagian karena pengurangan kapasitas untuk meningkatkan kualitas udara selama perayaan ulang tahun negara tersebut. 

Tak hanya di global, kelesuan industri baja juga terjadi di dalam negeri yang disebabkan oleh membanjirnya produk impor.

Direktur Utama PT Krakatau Steel (KRAS) Silmy Karim mengatakan, penyebab tumbangnya industri baja dalam negeri yang berawal dari adanya perjanjian perdagangan bebas melalui ASEAN-China Free Trade Area pada 2010. Selain itu, ada kecurangan dalam perdagangan, seperti mengelabui kode barang (circumvention) sehingga importir terbebas dari bea masuk.

Hal ini menyebabkan konsumsi baja nasional jauh tertinggal dari negara-negara tetangga. Singapura dan Malaysia, misalnya, konsumsi bajanya berkisar 300 kilogram (kg) per kapita per tahun, sedangkan Korea Selatan mencapai 1.100 kg per kapita per tahun. Sementara Indonesia hanya 50 kg per kapita pertahun.

(Baca: Produsen Baja asal Korsel Bakal Investasi Rp 42 T di Krakatau Steel)

Oleh karena itu, dia berharap ada regulasi baru yang  dapat meningkatkan konsumsi baja nasional, dan likuiditas Krakatau Steel sebagai produsen baja terbesar di dalam negeri.

"Potensi pasar dalam negeri ada, tapi siapa yang menikmati potensi ini, apakah impor atau lokal?," kata dia.

Silmny telah berdiskusi membahas regulasi yang dapat menyelamatkan industri baja nasional. Menurutnya, pemerintah perlu mengeluarkan regulasi baru untuk mempertahankan produk baja nasional. Sebab, baja berada di urutan ketiga komoditas yang dapat menekan neraca perdagangan Indonesia.

"Bukan hanya semata-mata Krakatau Steel, tapi bagaimana menyehatkan industri baja nasional," ujarnya saat ditemui di Kantor Kementerian BUMN, Kamis (21/11).