Tarik-Ulur Larangan Ekspor Nikel, Siapa yang Lebih Diuntungkan?

Katadata
Ilustrasi pengolahan nikel. Pemerintah akan melarang ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020.
Penulis: Sorta Tobing
4/10/2019, 08.00 WIB

Pemerintah akan melarang ekspor bijih nikel berkadar rendah mulai 1 Januari 2020. Kebijakan yang seharusnya berlaku pada 2022 ini dipercepat. Perusahaan tambang wajib mengolah dulu hasil produksinya sebelum dikirim ke luar negeri.

Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sri Raharjo sebelumnya mengatakan aturan itu akan berlaku tanpa pengecualian meskipun produksi bijih mineral dalam negeri nantinya melimpah.  

Perusahaan berbasis tambang mineral diwajibkan memiliki perencanaan yang matang untuk mengolah bahan mentah itu sebelum membangun smelter atau fasilitas pemurnian."Perusahaan harus punya feasibility study," ucap Raharjo pada awal Agustus lalu.

Tentu saja kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan dukungannya karena kebijakan ini dapat mendorong hilirisasi produk mineral domestik. Namun, di sisi lain, negara juga berpotensi kehilangan potensi ekspor senilai US$ 4 miliar atau sekitar Rp 56 triliun.

Kalangan pengusaha juga mengutarakan kekhawatirannya. Potensi kerugian dari larangan ekspor bijih nikel bisa mencapai Rp 50 triliun. Kerugian ini salah satunya berasal dari pembangunan smelter yang terhambat.

Pasalnya, pengusaha mengandalkan hasil ekspor untuk membiayai pembangunan smelter. Sekretaris Jenderal Asosisasi Penambang Nikel Indonesia Meidy K Lengkey was-was tambang nikel yang berada di wilayah smelter dapat diambil alih investor asing jika pembangunannya terhambat.

(Baca: Dilarang Ekspor, Pelaku Usaha Minta Pemerintah Perbaiki Niaga Nikel)

Berbagai Aturan Larangan Ekspor Nikel

Larangan ekspor mineral mentah merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam Pasal 103 tertulis, pengolahan dan pemurnian hasil tambang wajib dilakukan di dalam negeri.  

Sesuai Pasal 170, proses pemurnian itu harus dilakukan selambat-lambatnya lima tahun setelah aturan tersebut diundangkan. Jadi, larangan ekspor ini bukan hal baru. Malah pelaksanaannya yang terlambat.

Pemerintah lalu mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Aturan ini kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Kriteria Peningkatan Nilai Tambah.

Kedua aturan itu mengamanatkan pembangunan smelter dilakukan paling lambat 2017. Perusahaan tambang mineral yang tidak bisa mengejar target tersebut dilarang mengekspor hasil tambangnya ke luar negeri.

Tapi pada praktiknya target itu sulit tercapai. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said saat itu merasa pesimistis pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian bisa selesai pada 2017.

Perusahaan tambang ketika itu kesulitan mendapatkan modal untuk membangun smelter karena harga komoditas yang rendah. Akibatnya, dari 100 perusahaan yang berencana membangun smelter, hanya 6-7 perusahaan saja yang bisa mengoperasikannya pada 2017.

"Saya ingin katakan pemerintahan saat ini harus terima kenyataan bahwa pada 2017, tidak seluruh smelter (pembangunannya) akan selesai," ujar dia di Gedung Minerba, Jakarta, pada 16 Februari 2016.

(Baca: Luhut Akan Percepat Larangan Ekspor Timah, Alumina, Hingga Bauksit)

Hingga tenggat waktu aturan itu berlaku, yakni 12 Januari 2017, banyak perusahaan tambang, termasuk PT Freeport Indonesia, belum menyelesaikan pembangunan smelter. Freeport bahkan ketika itu meminta kepastian perpanjangan kontraknya yang akan habis pada 2021 agar investasi besarnya tidak menjadi mubazir.

Posisi pemerintah saat itu tidak menguntungkan dan dilematis. Banyak hal dalam turunan aturan UU Minerba yang tak sinkron. Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Peraturan itu berlaku satu hari menjelang berakhirnya masa izin ekspor. Di dalamnya tertulis kewajiban perusahaan pemegang kontrak karya (KK) untuk mengubah statusnya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) jika ingin mengekspor konsentrat. Kesempatan ekspor diberikan selama lima tahun hingga pembangunan smelter rampung.

Menteri ESDM Ignasius Jonan ketika itu mengatakan, jika dalam waktu lima tahun smelter tak rampung dibangun maka izin ekspor konsentrat akan dicabut.

(Baca: Menko Luhut Sebut Ekspor Nikel Dilarang untuk Pasok Baterai Lithium)

Larangan Ekspor Nikel Dorong Investasi Baterai Lithium

Berbagai aturan relaksasi itu ternyata tak mampu menggenjot jumlah smelter yang ada di Indonesia. Hingga akhir 2018, totalnya hanya 27 smelter. Lebih dari setengahnya melakukan pemurnian nikel. Sisanya, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut ini.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pelarangan ekspor nikel akan menguntungkan bagi pengembangan industri dalam negeri. Pasalnya, selama ini 98% produk tambang itu diekspor ke Tiongkok.

Padahal, kalau diolah dulu di dalam negeri, bijih nikel bisa menjadi produk bernilai tinggi, seperti baterai lithium. Karena itu, Luhut menilai pelarangan ekspornya dapat menarik produsen baterai masuk ke Indonesia.

"Jadi kita punya nikel. Produknya bisa dipakai untuk membuat stainless steel, katoda, dan baterai lithium," kata Luhut pada awal September lalu.

Ia mengatakan investor asal Tiongkok telah berinvestasi senilai US$ 4 miliar atau sekitar Rp 56 triliun di Morowali, Sulawesi Tengah. Investasi tersebut untuk pembangunan pabrik baterai lithium sekaligus daur ulang limbah baterai.

Investor Tiongkok tersebut yakni China's Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL). Investasi tersebut turut melibatkan LG, Panasonic, Volkswagen, dan Mercedes Benz.

(Baca: Dilarang Ekspor, Pelaku Usaha Keluhkan Permainan Kadar Nikel Domestik)

Baru-baru ini ia juga menyebut perusahaan asal Korea Selatan (Korsel), LG Chemicals, ingin membangun pabrik baterainya di sini. Hal itu karena Indonesia akan memberlakukan larangan ekspor nikel mulai Januari 2020, serta harganya di pasar global yang terus naik.

LG Chemical kemungkinan akan membangun pabrik tersebut bermitra dengan Tiongkok atau Volkswagen. Perusahaan yang disebut terakhir ini merupakan produsen mobil asal Jerman yang sedang mengembangkan kendaraan listrik.