INFOGRAFIK: Antiklimaks Negosiasi Tarif Trump
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tetap mengenakan tarif sebesar 32% terhadap produk asal Indonesia yang masuk ke pasar AS. Besaran tarif ini tidak berubah, meski pemerintah telah berupaya melakukan negosiasi sejak April.
Dalam surat yang dikirimkan Trump kepada Presiden Prabowo Subianto, dia menyebutkan bahwa tarif 32% ini diperlukan untuk menghilangkan defisit perdagangan AS. Dia menilai, defisit diakibatkan sejumlah faktor, mulai dari faktor tarif, non-tarif, hingga kebijakan dan hambatan perdagangan Indonesia.
“Hubungan kita, sayangnya, jauh dari timbal balik (resiprokal). Mulai 1 Agustus 2025, kami akan membebankan tarif hanya sebesar 32% terhadap semua produk Indonesia yang dikirim ke AS,” tulis Trump, Senin, 7 Juli.
Terhadap ultimatum ini, tim delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kembali terbang ke AS untuk melakukan negosiasi. Usai bertemu dengan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), Airlangga memberi sinyal penerapan tarif 32% bakal ditunda kembali.
“Penundaan penerapan untuk menyelesaikan perundingan yang sudah ada. Jadi tiga minggu ini diharapkan finalisasi dari pada proposal dan fine tuning yang sudah dipertukarkan,” kata Airlangga lewat keterangan pers di Belgia, Sabtu, 12 Juli waktu setempat, seperti dikutip dari Antara.
Sebelumnya pada April 2025, Airlangga dan tim delegasi juga terbang ke AS untuk melakukan negosiasi usai Trump pertama kali mengumumkan pengenaan tarif universal dan resiprokal terhadap ratusan negara mitra dagang.
Selama periode penundaan pengenaan tarif, Indonesia memberi sejumlah tawaran ke AS mulai dari peningkatan impor komoditas strategis hingga kemudahan perizinan berusaha perusahaan AS di Indonesia.
Indonesia juga menyampaikan ‘second best-offer’ hingga penandatanganan memorandum of understanding (MoU) pembelian sejumlah komoditas AS seperti gandum, jagung, dan sektor energi.
Hal ini dilakukan agar defisit AS dengan Indonesia menyempit sehingga AS mau menurunkan tarif impornya terhadap Indonesia. Meski demikian, AS tetap mengenakan tarif yang sama terhadap Indonesia.
Di sisi lain, sejumlah negara di Asia Tenggara tercatat mengalami penurunan tarif yang baru dibandingkan April lalu. Vietnam misalnya, dikenakan tarif baru 20% atau turun 26% dibandingkan tarif yang dikenakan AS April lalu. Kamboja, Laos, hingga Myanmar juga tercatat mengalami penurunan tarif, meski tidak sesignifikan Vietnam.