
Setiap hari, jutaan rumah tangga menyalakan kompor gas untuk memasak. Di jalanan, jutaan kendaraan bermotor melaju ke aneka penjuru. Tak banyak yang menyadari bahwa sebagian besar bahan bakar itu berasal dari negara-negara yang sangat jauh: ribuan hingga puluhan ribu kilometer dari Tanah Air. Dari Singapura, Arab Saudi, Nigeria, hingga Amerika Serikat, energi yang kita konsumsi menempuh perjalanan panjang di atas kapal-kapal tanker.
Kini, peta energi itu bergeser. Indonesia memulai babak baru petualangan energi: memburu LPG, minyak mentah, dan BBM “made in America” bukan semata demi kebutuhan, melainkan untuk menyeimbangkan neraca dagang dengan Amerika Serikat. Tujuannya, menghindari sanksi tarif tinggi untuk produk ekspor Indonesia. Dengan kata lain, barter. Indonesia menjanjikan kenaikan impor energi hampir empat kali lipat, dari US$ 4 miliar menjadi US$ 15 miliar, selain janji-janji lain di luar sektor energi.
“Saya bicara dengan Presiden Donald Trump, ya Alhamdulillah juga dari perundingan alot akhirnya ada kesepakatan. Kami sepakati tarifnya sekarang dari 32 persen diturunkan jadi 19 persen,” kata Presiden Prabowo Subianto di Jakarta, 16 Juli lalu, sehari setelah Trump mengumumkan deal itu di platform media sosialnya, Truth Social. “Ya saya tetap nego. Beliau ini seorang negosiator yang cukup keras,” kata dia menambahkan, seraya meyakinkan publik bahwa pemerintah masih mengupayakan tarif lebih rendah.
Pertanyaannya, bagaimana sebetulnya Indonesia memenuhi kebutuhan energi domestik. Dan, apakah janji terbaru dengan Amerika untuk impor energi berjarak setengah putaran bumi ala marco polo akan membawa Indonesia pada ketahanan, atau justru ketergantungan dan kerentanan baru?
Impor Migas: Petualangan Energi Semakin Jauh
Selama ini, Indonesia memang tak mandiri soal energi. Meski produsen minyak dan gas bumi, penurunan cadangan dan keterbatasan infrastruktur membuat impor terus meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, impor migas Indonesia pada 2024 mencapai US$ 36,28 miliar, sekitar Rp 590 triliun. Artinya, dengan deal dagang terbaru senilai US$ 15 miliar, Amerika bakal melesat menjadi negara utama pemasok produk energi ke Indonesia.
Impor migas dari Amerika sebetulnya sudah berangsur meningkat dalam satu dekade belakangan, menyaingi impor migas dari Timur Tengah. Negara itu memang menjadi eksportir migas utama dunia sejak revolusi shale gas pada awal 2010-an. Kemajuan teknologi seperti hydraulic fracturing dan horizontal drilling mendongkrak produksi minyak dan gas mereka secara drastis.
Data pemerintah Indonesia menunjukkan, sekitar 80 persen kebutuhan LPG domestik berasal dari impor, lebih dari separuhnya datang dari Amerika. Sekitar 50 sampai 60 persen kebutuhan minyak domestik dipenuhi impor. Impor minyak mentah terbesar dari Nigeria, Saudi Arabia, dan Angola, sedangkan BBM dari kilang-kilang di Singapura. Amerika juga dilaporkan memasok minyak mentah dan BBM ke Indonesia, namun bukan pemasok dominan.
Tantangan utama impor migas dari Amerika ke Asia Tenggara adalah rute perjalanan yang jauh. Sebagai gambaran, LPG dikirim dari terminal ekspor seperti Enterprise Terminal di Houston, Nederland Terminal, dan Corpus Christi di Teluk Meksiko. Kargo LPG umumnya diangkut menggunakan kapal besar (Very Large Gas Carrier/VLGC).
Rute pelayaran menempuh jalur sekitar 25 ribu kilometer: melewati Laut Karibia, masuk Terusan Panama, lalu melintasi Samudra Pasifik menuju pelabuhan di Asia Tenggara. Waktu tempuhnya berkisar 35 sampai 45 hari, tergantung kondisi Terusan Panama dan cuaca.
Sedangkan minyak mentah diekspor dari pelabuhan seperti Houston, Beaumont, dan Corpus Cristi. BBM dikapalkan dari kilang-kilang seperti ExxonMobil di Baton Rouge, Valero di Port Arthur, dan Chevron di Pascagoula. Sama seperti LPG, pengapalan menggunakan Terusan Panama.
Biayanya? Bila dibandingkan dengan Timur Tengah, biaya pengiriman dari AS lebih mahal karena lebih jauh. Selain mahal, jalur ini juga tak kalah rentan gangguan bila dibandingkan dengan Selat Hormuz yang dilewati kapal-kapal dari Timur Tengah. Gangguan utamanya kemacetan di Terusan Panama akibat kekeringan, tensi geopolitik, dan badai tropis. Jika antrean di Terusan Panama membludak, rute bisa dialihkan memutar lewat Tanjung Harapan, Afrika Selatan, yang menambah jarak dan waktu.
Rencananya, Indonesia bukan hanya mengutak-atik impor migas dari Timur Tengah untuk dialihkan ke Amerika, tapi juga dari negara tetangga: Singapura, pemasok utama BBM Indonesia. Guna menekan biaya pengiriman, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia meminta PT Pertamina (Persero) untuk membangun infrastruktur pendukung, seperti dermaga dan pelabuhan yang mampu menampung kapal-kapal berukuran besar. Pengiriman BBM dari Amerika akan dilakukan dengan kapal besar, berbeda dengan pengiriman dari Singapura yang menggunakan kapal-kapal kecil. “Supaya satu kali angkut," ujarnya.
Berikut gambaran rute pengiriman migas ke Indonesia:
Alat Tawar atau Perangkap?
Di atas kertas, menjadikan impor energi sebagai bagian dari diplomasi perdagangan bisa dilihat sebagai langkah cerdik. Indonesia meminta kepada Amerika tarif bea masuk rendah untuk menjaga daya saing produk ekspor yang bernilai US$26,31 miliar atau sekitar Rp 428 triliun pada 2024. Sebagai timbal balik, Indonesia menjanjikan pembelian lebih banyak produk energi dari Amerika. Caranya, lewat pergeseran negara pemasok alias switching impor.
Namun, para pengamat energi memberi sejumlah catatan penting. Kepala Engineering Research and Innovation Center (ERIC) Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Tumiran, menyebut realokasi impor bisa menguntungkan jika Amerika sedang surplus pasokan, sehingga ada potensi diskon harga. Meski begitu, ia mengingatkan adanya faktor lain yang tak kalah penting: biaya transportasi. “Jangan sampai langkah ini justru menaikkan biaya jual dalam negeri karena menyebabkan beban subsidi pemerintah ikut membengkak,” ujarnya, dikutip dari laman UGM.
Dari sisi kemandirian energi, kritik yang lebih mendasar ramai disuarakan: bagaimana kelanjutan proyek kemandirian energi? Sejak ditunjuk menjadi Menteri ESDM tahun lalu, Bahlil Lahadalia bicara banyak soal pengurangan ketergantungan pada impor.
Ia mengisyaratkan percepatan pembangunan jaringan gas (jargas) rumah tangga sebagai pengganti LPG. “Kalau tidak, nanti impor lagi, impor lagi. Lama-lama, mati dengan impor kita," kata dia dalam rapat dengan DPR, Oktober tahun lalu.
Catatan dia, realisasi pembangunan jargas di Jawa Timur baru enam persen. Di Jawa Barat, baru empat persen. Di Jawa Tengah, baru dua persen. “Saya sudah minta kepada Menteri Keuangan, pipa-pipa ini kita harus bangun sebagai jalan tol," ujarnya.
Dua pabrik LPG baru juga sedang disiapkan: satu di lapangan gas Jambi Merang, satu lagi di Offshore North West Java (ONWJ), dengan target operasi akhir 2025.
Baru-baru ini, Bahlil juga mengungkapkan soal pembangunan kilang minyak berkapasitas 1 juta barel per hari. Rencananya, kilang akan dibangun di 18 lokasi dengan investasi Rp 160 triliun, termasuk dari induk BUMN Danantara. Menurut dia, instruksi sudah turun dari Presiden Prabowo untuk memperbesar distribusi minyak mentah dalam negeri untuk kilang-kilang dalam negeri. Dengan demikian, impor BBM bisa ditekan.
Deal memperbanyak impor energi dari Amerika membuat jalan kemandirian jadi kabur. Sebab, salah-salah hitung, bisa jadi disinsentif bukan hanya bagi proyek hilirisasi migas yang disebut-sebut Bahlil, tapi pengembangan lapangan migas baru di dalam negeri. Jika demikian, bakal sulit mengerem impor migas sepanjang Indonesia bergantung pada bahan bakar ini.
Sebagai catatan, produksi gas bumi berisiko mengalami tren turun seperti minyak bumi. Pada 2024, produksi minyak bumi hanya 612 ribu barel per hari, sedangkan konsumsinya mencapai 1,63 juta barel per hari. Di sisi lain, produksi gas bumi cukup, rata-rata penyaluran 5.613,43 miliar british thermal unit per hari, dengan 60 persen lebih diperuntukkan bagi pasar domestik.
Namun, laporan terbaru Wood Mackenzie memperingatkan bahwa Indonesia bisa menghadapi defisit gas domestik mulai 2033 jika pengembangan lapangan baru tak dipercepat. Cadangan gas di lapangan baru melimpah, seperti dari Lapangan Abadi, Geng North, Tangkulo, dan Layaran. Tapi pengembangannya memerlukan investasi besar, hingga US$50 miliar atau sekitar 820 triliun. “Indonesia butuh kebijakan yang jelas dan konsisten agar investor tertarik,” kata Joshua Ngu, Vice Chairman Asia Pasifik Wood Mackenzie. Tanpa itu, Indonesia terancam krisis gas dan makin bergantung pada impor gas alam cair untuk industri atau LNG yang mahal.
Pengamat Energi sekaligus Direktur Eksekutif dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai switching impor ini tidak masalah selama pemerintah konsisten menjalankan upaya-upaya untuk mencapai kemandirian energi. “Produksi minyak setidaknya butuh waktu lima tahun sejak penemuan cadangan,” ujarnya. Sementara pengembangan biosolar (pencampuran solar dengan minyak nabati) juga tak mudah karena keterbatasan lahan perkebunan. Artinya, untuk jangka menengah hingga panjang, impor energi masih diperlukan.
Tapi tetap saja, Komaidi mengatakan switching impor perlu perhitungan teliti. Jarak lebih jauh berarti biaya logistik naik dan waktu kirim yang lebih lama berarti perlu penyesuaian pengelolaan pasokan di dalam negeri. Selain itu, ada kerentanan bila terlalu besar bergantung pada satu negara nun jauh sebagai pemasok energi utama. “Apa dimungkinkan produk migas yang dibeli dari perusahaan AS di negara lain dicatat sebagai asal AS? Karena selama ini kita juga membeli dari perusahaan AS,” tanya Komaidi. Menurut dia, ada alternatif lain yang juga layak dipikirkan: memperbesar negosiasi dagang di sektor non-energi agar beban switching impor energi tak perlu sebesar itu.
Amerika sendiri bukan mitra tanpa "cela". Amerika sempat melarang ekspor minyak mentah selama empat dekade. Pada 2021, ekspor LNG mereka juga tersendat akibat krisis gas domestik. Jika pasokan dari Amerika terganggu karena cuaca atau bencana hingga perubahan kebijakan, Indonesia bisa terdampak besar.