Tahun baru 2018 menjadi salah satu tonggak penting bagi sejarah industri minyak dan gas di tanah air. Blok Mahakam, salah satu ladang minyak dan gas bumi terbesar di Indonesia yang selama 50 tahun terakhir dikelola oleh perusahaan migas asing: Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation, akhirnya berpindah ke tangan PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertamina Hulu Mahakam.

Tak berlebihan bila serah terima pengelolaan blok migas di Kalimantan Timur itu diadakan secara khusus. Menjelang 1 Januari 2018 pukul 00.00 WITA di Balikpapan, perwakilan pemerintah yakni Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi, menyerahkan blok Mahakam kepada Pertamina yang diwakili oleh Direktur Hulu Syamsu Alam.

Acara serah terima juga disertai seremoni secara simbolis perubahan seragam karyawan. Logo Total-Inpex dalam seragam karyawan blok Mahakam dihilangkan mulai 1 Januari 2018, dan diganti dengan  logo Pertamina. 

Blok Mahakam saat ini merupakan produsen gas terbesar di Indonesia. Pertamina diperkirakan akan mendapatkan kontribusi produksi dari blok tersebut sekitar 34% dari total produksi migas secara nasional. Sejak memulai produksi pertamanya tahun 1974, Mahakam masih terus menghasilkan migas saat ini hingga diperkirakan beberapa puluh tahun ke depan.

(Baca: Transfer Pekerja Capai 98%, Pertamina Siap Kelola Mahakam Mulai 2018)

Mahakam menghasilkan gas terbanyak dengan pencapaian di semester I/2017 sebanyak 1.504 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 20% dari total produksi nasional. Sementara realisasi produksi minyak di semester pertama 2017 sebanyak 55 ribu barel minyak per hari, yang berada di urutan keempat dari daftar produsen minyak nasional.

Dalam APBN 2018, pemerintah menargetkan Mahakam memproduksi gas 1.100 juta kaki kubik per hari gas dan minyak sebesar 48.000 barel per hari.  SKK Migas menetapkan aset Blok Mahakam per 31 Desember 2017 sebesar Rp 122 triliun (US$ 9,43 miliar). 

Sejarah eksplorasi Mahakam

Kontrak pengelolaan Blok Mahakam dimulai beberapa pekan setelah Presiden Soeharto dilantik menggantikan Soekarno. Lewat kontrak kerja sama pada 6 Maret 1967, Total, perusahaan migas asal Perancis, dan Inpex dari Jepang, masing-masing memiliki 50% hak kelola Blok Mahakam selama masa 30 tahun.

Eksplorasi Blok Mahakam dimulai dengan mengebor sumur di Lapangan Bekapai pada 1969. Selama dua tahun operator mengebor enam sumur, mereka tak kunjung berhasil menemukan minyak. Saat mengebor sumur ketujuh, barulah operator menemukan migas.

Produksi migas dimulai dari Bekapai pada 1974. Sejak keberhasilan eksplorasi pertama, minyak dan gas berturut-turut ditemukan di tujuh lapangan lain yakni Handil pada 1974, Tambora (1974), Tunu (1977), Peciko (1983), Sisi (1986), Nubi (1992), dan South Mahakam (1996).

Setelah masa kerja sama 30 tahun hampir berakhir, Total dan Inpex meminta perpanjangan kontrak pengelolaan. Permintaan ini disetujui pemerintahan Soeharto pada 11 Januari 1997, dengan menambah masa kontrak 20 tahun yang berakhir pada 31 Desember 2017.

Pada awal 2008, Total E&P Indonesie kembali mengajukan perpanjangan kontrak sebagai operator kepada Kementerian ESDM dan BP Migas (sekarang SKK Migas). Alasannya, Total memiliki kontrak memasok gas untuk Western Buyers dari Jepang yang baru berakhir pada 2020 atau tiga tahun setelah kontrak kerja sama Mahakam berakhir.

Satu tahun kemudian, Pertamina mengajukan minat untuk ikut mengelola Blok Mahakam setelah berakhirnya kontrak Total dan Inpex pada 2017. Di saat yang sama, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur juga menyampaikan minat ikut mengelola blok itu.

Menjawab berbagai permintaan tersebut, dibuat Letter of Intent (LOI) yang ditandatangani oleh Ditjen Migas, BPMIGAS, Pertamina, Total dan Inpex pada 26 Maret 2010. LOI tersebut berisi penegasan pemerintah berwenang menentukan pengelola baru Blok Mahakam. Pemerintah juga menjamin kelangsungan dan kepastian pasokan gas untuk Western Buyers oleh siapa pun pengelola Blok Mahakam setelah 2017.

Blok Mahakam memang wajar menjadi rebutan banyak pihak. Selama mengoperasikan blok itu, Total dan Inpex diperkirakan telah menyedot 19,7 triliun kaki kubik gas dan 1,1 triliun barrel minyak. Berdasarkan perkiraan, Blok Mahakam kini masih menyisakan cadangangan 57 juta barel minyak (Million Barel Oil/MMBO), 45 juta barel kondensat, dan 4,9  triliun standar kaki kubik (Triliun Standard Cubic Feet/TSCF). 

"Dalam setahun, Total menyetor sampai US$ 5 juta Dana Bagi Hasil migas dari Blok Mahakam," kata Kepala Perwakilan SKK Migas Wilayah Kalimantan dan Sulawesi, Nasvar Nazar, dikutip dari Antara

blok Mahakam
Lapangan Senipah, Peciko dan South Mahakam (SPS), Blok Mahakam, Kalimantan Timur (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Pertaruhan Pertamina

Pada masa Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah menolak permohonan perpanjangan kontrak Total dan Inpex di Blok Mahakam. Menteri ESDM ketika itu, Sudirman Said, menerbitkan Surat Nomor:2793/13/MEM.M/2015 tanggal 14 April 2015 perihal Pengelolaan Wilayah Kerja (WK) Mahakam Pasca 2017. Isi surat menyatakan kontrak kerja sama dengan kontraktor Total dan Inpex tidak diperpanjang dan Pertamina ditunjuk sebagai pengelola baru Blok Mahakam.

Selain itu, Pertamina mendapat kesempatan menjalani masa transisi selama satu tahun sebelum resmi mengelola Blok Mahakam tahun 2018. Tahun 2017, Pertamina sudah mengucurkan investasi untuk membiayai pengeboran sejumlah sumur yang dilakukan Total. Tujuannya agar produksi blok tersebut tidak menurun setelah bergantinya operator dari Total kepada Pertamina.

Potensi merosotnya produksi Mahakam memang dikhawatirkan oleh pemerintah. Alasannya, selain Pertamina belum pernah mengelola blok migas besar, produksi Blok Mahakam menjadi salah satu andalan lifting (produksi siap jual) migas secara nasional setiap tahun. Kontribusinya 22% terhadap lifting gas nasional.

Demi menjaga kelangsungan produksi Mahakam, pemerintah juga memberikan kesempatan Pertamina untuk menggandeng kembali Total dan Inpex dengan porsi hak kelola maksimal 30%. Sedangkan BUMD yang didirikan pemerintah daerah mendapatkan 10%. Pengalihan hak kelola kepada kontraktor eksisting dilakukan secara business to business.

Namun, peluang tersebut hingga kini belum bersambut. Untuk ikut mengelola blok itu, Total pernah meminta sejumlah insentif, namun ditolak oleh pemerintah. Misalnya, insentif investment credit 17% melalui pengembalian biaya operasi (cost recovery), dan percepatan depresiasi menjadi dua tahun dari normalnya lima tahun.

Belakangan, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyodorkan tawaran baru agar Total tetap mau terlibat mengelola Blok Mahakam. Tawaran itu adalah memperbesar porsi hak kelola Total dan Inpex menjadi 39%. Dengan begitu, Pertamina masih memiliki mayoritas hak kelola yaitu sebesar 51% dan sisanya 10% oleh pemerintah daerah Kalimantan Timur.

Usai mengunjungi Blok Mahakam pada Maret 2017, Menteri ESDM Ignasius Jonan juga menyatakan, Pertamina dapat mengalihkan hak kelola kepada kontraktor eksisting dengan porsi maksimal 39%. Namun, proses dan keputusannya diserahkan kepada kedua belah pihak, yaitu Pertamina dengan Total dan Inpex. (Baca: Jonan Tolak Campuri Pembagian Hak Kelola Blok Mahakam)

"Blok Mahakam jadi pertaruhan besar Pertamina, kalau alih kelola ini membuat produksi turun drastis, maka reputasi Pertamina dan reputasi dunia hulu migas kita akan kurang positif," kata Jonan, Oktober lalu.

BLOK MAHAKAM
Blok Mahakam (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Alhasil, di ujung masa kontrak Total dan Inpex di Blok Mahakam, Jonan tetap menerbitkan surat keputusan yang merevisi keputusan Sudirman sebelumnya. Surat itu dapat menjadi pegangan bagi Pertamina untuk mengalihkan hak kelola blok tersebut kepada Total dan Inpex maksimal 39%. (Baca: Jadi Acuan Pertamina, ESDM Revisi Surat Keputusan Porsi Total-Inpex)

Namun, hingga masa kontrak Total dan Inpex berakhir, kesepakatan itu tak kunjung terwujud. Di sisi lain, Pertamina berupaya meyakinkan berbagai pihak, khususnya pemerintah, mengenai kesiapan mereka menjaga produksi Blok Mahakam.

Beberapa persiapan dan strategi telah dilakukan dalam peralihan pengelolaan dari Total E&P. Direktur Utama Pertamina Hulu Indonesia Bambang Manumayoso menyatakan, pihaknya siap menambah sumur pengembangan dari 55 sumur menjadi 65 sumur. "Serta menyiapkan biaya investasi hingga US$ 700 juta dan biaya operasional sebesar US$ 1 miliar," kata Bambang dalam keterangan resmi dari Balikpapan, Rabu (27/12).

Pertamina telah menekan biaya pengeboran sumur hingga lebih efisien 23% terhadap rencana anggaran, catatan waktu pengeboran lebih cepat hingga 25%, potensi penambangan cadangan hingga 120%, dan penambahan ketebalan reservoir sebesar 115%.

Pertamina juga memperoleh pelaksanaan mirroring contract atas persetujuan SKK Migas untuk percepatan kontrak dengan pihak ketiga penunjang Blok Mahakam senilai US$ 1,2 miliar.

Untuk transfer pekerja Total E&P Indonesia, perjanjian kerja sudah ditandatangani mencapai 98,23%. Meski dikelola perusahaan asing selama kurun waktu 50 tahun, mayoritas pekerja adalah orang Indonesia."Kemampuan anak negeri tidak perlu dipertanyakan lagi, karena itu peralihan status tidak menjadi masalah bagi mereka.

Menurut Bambang, semua langkah persiapan dan strategi tersebut memang bukan hal yang mudah dilakukan. “Ini adalah bukti bahwa dengan kerja sama berbagai pihak, alih kelola Blok Mahakam ini akan berjalan baik." 

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami