Beban Modal dan Hasrat Lama Pemegang Saham

Lokakarya yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Agustus 1990 mempunyai arti penting bagi kelahiran bank syariah di Indonesia. Pertemuan di Cisarua, Bogor itu membahas “Masalah Bunga Bank dan Perbankan”. Dalam hukum Islam, bunga bank memang menjadi salah satu topik yang kerap diperdebatkan, apakah termasuk riba -perbuatan semacam rentenir yang berstatus haram- atau tidak.

Ketua MUI kala itu, Hasan Basri, membawa hasil lokakarya pada Musyawarah Nasional (Munas) MUI yang digelar pada Agustus tahun berikutnya. Munas lalu merekomendasikan pendirian bank tanpa bunga. Gayung bersambut. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan sebagian pengusaha muslim mendukungnya.

Setelah mendapat restu dari Presiden Soeharto, terbentuklah Bank Muamalat Indonesia yang mulai beroperasi pada 1 Mei 1992. Beberap produk yang diluncurkan di antaranya multifinance syariah (al-Ijarah Indonesia Finance), asuransi syariah (Asuransi Takaful), dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan Muamalat (DPLK Muamalat). Sejumlah inovasi terus dikembangkan.

Namun, seperti yang dialami seluruh industri perbakan, Muamalat pun terguncang pada 1998 ketika krisis moneter menyapu Indonesia. Banyak bank tumbang sehingga pemerintah mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dana sebesar Rp 144,5 triliun digelontor untuk memulihkan perbankan.

Dalam proses pemulihan, masuklah sejumlah pemodal asing ke Bank Muamalat. Mereka yaitu Boubyan Bank Kuwait, Saudi Arabian Atwill Holdings Limited, dan Islamic Development Bank (IDB). Boubyan Bank dan Saudi Company masing-masing menguasai 24,9 persen. Sementara IDB menggenggam 32 persen. Selebihnya dipegang oleh publik.

Pada awal 2011, para pemegang saham ini hendak menyudahi atau mengurangi kepemilikan mereka. Menurut Mulia Siregar, Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia ketika itu, ada sejumlah alasan yang melatari rencana tersebut. Boybyan Bank, misalnya, membatasi ekspansinya hanya di kawasan Timur Tengah. Hal ini sebagai imbas krisis keuangan 2008. Sebagaimana dikutip Detik, Mulia mengatakan, “Semua investasi yang ada di luar gulf (Timur Tengah) akan ditarik termasuk di bank Muamalat yang ada di Indonesia.”

Sementara Saudi Company berdalih sudah waktunya untuk meningglkan Muamalat. Tujuh tahun sebagai salah satu pemilik bank syariah ini dianggap sudah cukup. Sementara IDB berencana melepas sebagian sahamnya untuk menyesuaikan dengan kebijakan baru perusahaan yang mengatur batas maksimal kepemilikan di satu bank tak melebihi 20 persen.

Kabar ini cepat berhembus di pasar. Sejumlah lembaga keuangan menyatakan minat. Hingga Juli 2011, ada tiga investor lokal dan lima investor asing yang hendak meminang Muamalat. Tiga pemodal lokal itu ialah Para Group di bawah kendali Chairul Tanjung, Saratoga milik Sandiaga Uno, dan Bank Mandiri. Adapun lima investor asing yang menyatakn hasrat adalah OCBC Overseas, Bearing Bank, Overseas Chinese Banking, Qatar Islamic Bank, dan Standard Chartered. Jumlah ini bertambah dengan masuknya Bank Permata dan Bank Rakyat Indonesia.

Walau banyak yang mengajukan pinangan, proses pelepasan saham cukup berjalan alot. Bahkan beberapa peminat akhirnya mengundurkan diri. Satu di antara penyebabnya yaitu harga saham yang diajukan Bank Muamalat dinilai terlalu tinggi. Sebagai contoh, IDB dikabarkan menawarkan saham hingga tiga kali lipat harga awal. Sementara sejumlah pengamat perbankan kala itu menaksir harga wajar Muamalat 1,5 – 2 kali nilai bukunya.

Bank Permata merupakan yang pertama menyatakan mundur. Menurut Wakil Presiden Bank Permata Herwidayatmo, Permata belum mampu menanggung risiko atas akuisisi Muamalat. Langkah itu diikuti BRI yang menggeser fokusnya untuk ekspansi kredit. Begitu pula dengan Para Group yang sudah masuk tahap due diligence dengan dalih risiko atas pembelian Muamalat terlalu besar.

Klimaksnya, Bank Muamalat mengumumkan untuk menunda pelepasan saham sebesar 67 persen. Arvian Arifin, Direktur Utama Bank Muamalat ketika itu, menyebutkan sejumlah penyebabnya. Selain nilai Muamalat yang tidak rendah, ada aturan yang mesti diperhitungkan seperti kepemilikan tunggal atau single present policy dan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).

Secara resmi, IDB menyampaikan pembatalan penjualan saham ini ke Bank Indonesia pada akhir Juli 2011. “Kemungkinannya masalah kecocokan harga,” kata Mulia.

Upaya melepas saham ini yang muncul kembali enam tahun kemudian. Sejauh ini baru Minna Padi dan Bahana Sekuritas yang sudah mengajukan minat hingga pemberitahuan ke OJK. Sayangnya, upaya Muamalat mendapat injeksi dana segar lagi-lagi kandas.

Walau demikian, Jumat pekan lalu, Ketua OJK Wimboh Santoso menampik anggapan penambahan modal Bank Muamalat makin tak jelas. Bahkan, pemegang saham pengendali sejauh ini masih berkomitmen untuk menambah modal Muamalat. “Apakah mereka mau suntik sendiri atau cari investor lain, pengendali ini punya opsi,” kata Wimboh.

Dia juga menekankan bahwa kondisi Bank Mualamat sangat baik dari sisi likuiditas. Walaupun Wimboh membenarkan bank syariah ini sedang mengalami pemburukan kualitas kredit dengan rasio NPF di atas ambang batas lima persen. “Ada radang-radang sedikit. NPF-nya sudah melebih threshold. Kami minta setoran modal.”

Jadi, Bank Muamalat kini sedang menunggu peminang sejati setelah rencana Minna Padi dan Bahana Sekuritas tak membuahkan hasil. (Baca: OJK Tagih Kejelasan Rencana Calon Investor Bank Muamalat).

Reporter: Martha Ruth Thertina

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami