Dengan sedikit membubuhi kata candaan, Yusuf Mansur mengajak kaum muslim untuk berbondong-bondong mendatangi Muamalat Tower di Kuningan, Jakarta Selatan. Pada Kamis, 28 Februari nanti, ia mengimbau jemaahnya untuk beramai-ramai membuka rekening di Bank Muamalat Indonesia.

“Agendanya buka bareng tabungan baru Muamalat,” Yusuf menuliskan ajakannya melalui akun Instagram yusufmansurnew, Kamis (22/02/2018). “Plus zuhur bareng, tausiah. Makan-makan. Jangan lupa pada bawa masing-masing, ha ha ha …”

Tak hanya sekali ia mengeluarkan seruan tersebut. Setidaknya Founder & Owner Paytren Asset Manajemen ini dua kali memposting hal serupa pada hari berikutnya. Kali ini, Yusuf mengumumkan Masyarakat Ekonomi Syariah mendukung gerakannya. Demikian pula pada Sabtu kemarin. “Habis ini, kita lakukan serentak di seluruh kota.”

Pekan sebelumnya, dai kondang ini ramai dikabarkan hendak mengambil saham Bank Muamalat. Dana yang dikucurkan akan menyesuaikan dengan kebutuhan bank syariah pertama di Indonesia itu yang kemungkinan sekitar Rp 4,5 triliun untuk 50 persen sahamnya. Tentu ini dana jumbo sehingga ia perlu menggalang potensi dana umat melalui Paytren. Pihaknya masih menjajaki skema investasi dan sistem akuisisinya.

Ketika dikonfirmasi rencana pembelian saham tersebut, Yusuf malah membalas dengan mengirim postingannya di Instagram untuk menyokong penitipan dana di Bank Muamalat. “Kita adalah Muamalat,” pendiri Pondok Pesantren Daarul Qur'an ini menuliskan jawabannya. Ia menampik bila target memperbesar dana pihak ketiga melalui setoran tabungan sebagai upaya memperkuat likuiditas bank tersebut. “Targetnya, menunjukkan keberpihakan langsung buat Muamalat dan ekonomi syariah pada umumnya”.

Sejak dua tahun lalu, Bank Muamalat memang membutuhkan dana segar. Kondisi ini bermula ketika industri perbankan syariah diterpa membengkaknya penyaluran pembiayaan yang bermasalah atau Non Performing Financing (NPF). Ketika itu, berdasarkan data per Juni 2016, dari 12 bank umum syariah, lima bank membukukan NPF gross di atas rata-rata industri sebesar 5,68 persen pada Juni dan 5,32 persen sebulan kemudian. (Baca juga: Lima Bank Syariah Pikul Beban Berat Pembiayaan Bermasalah).

Maybank Syariah Indonesia menempati peringkat pertama dengan NPF tertinggi 29,31 persen. Lalu, disusul Bank Jawa Barat Banten Syariah 17,09 persen dan Bank Victoria Syariah 12,03 persen. Sementara NPF Bank Muamalat 7,23 persen dan Bank Syariah Mandiri 5,58 persen. Kelima bank ini tetap membukukan NPF tinggi meski NPF industri berangsur membaik sejak Mei 2017 yang bertengger di level 6,17 persen.

Melihat keadan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan memperketat pengawasan. Otoritas menekan perbankan untuk mempertebal modalnya. “Kami harap dengan penambahan modal bisa memperbaiki NPF,” ucap Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK ketika itu, akhir September 2016. Targetnya, NPF netto berada di bawah batasan yang ditentukan regulator sebesar lima persen. “Kami paksa mereka mitigasi risiko-risiko tersebut.”

Namun, dalam pantauan Katadata, dari lima lembaga keuangan tadi, hanya tiga bank yang terpantau mempertebal modalnya. Mereka adalah Maybank Syariah Indonesia, Bank Jawa Barat Banten, dan Bank Syariah Mandiri. Rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) Maybank, misalnya, tercatat 45,63 persen pada Juni 2016, naik dari level 43,35 pada periode yang sama 2015. Level tersebut jauh melampaui batas minimum CAR 8 persen.

Kondisi sebaliknya terlihat pada Bank Victoria Syariah dan Bank Muamalat yang CAR-nya malah makin menipis. Pada Juni 2016, CAR Bank Victoria Syariah di level 15,88 persen, lebih rendah dari periode sama 2015 sebesar 20,39 persen. Situasi lebih memprihatinkan terjadi pada Bank Muamalat yang CAR-nya hanya 12,78 persen, turun dari 13,6 persen pada tahun sebelumnya -jatuh lagi menjadi 11,58 persen pada September 2017.

Setelah itu lama tak terdengar perkembangan mereka. Namun, kabar mengejutkan menyeruak setahun kemudian dari Bursa Efek Indonesia terkait Bank Muamalat. Melalui surat keterbukaan informasi, PT Minna Padi Investama Sekuritas Tbk mengumumkan akuisisi Bank Muamalat pada 27 September 2017. Minna Padi menyatakan telah menandatangani perjanjian pengambilalihan saham bank syariah pertama di Indonesia ini.

Melalui perjanjian jual-beli bersyarat dengan skema conditional share subscription agreement (CSSA), Minna Padi akan menggelontorkan sekitar Rp 4,5 triliun untuk mengambil alih saham Muamalat sekurang-kurangnya 51 persen dari total modal ditempatkan dan disetor penuh. Transaksi akan dilakukan bersamaan dengan penerbitan saham baru (right issue) Muamalat dengan Hak Membeli Efek Terlebih Dahulu (HMETD). Di sini, Minna Padi bertindak sebagai pembeli siaga alias standby buyer.

Dalam proses ini, Minna Padi membuka rekening penampungan sementara atawa escrow account. Menurut Direktur Utama Minna Padi Djoko Joelijanto, layaknya pembayaran di muka, pihaknya menaruh Rp 1,7 triliun di escrow account Muamalat sembari menyelesaikan proses akuisisi. Dengan demikian, transaksi belum memiliki dampak terhadap kegiatan operasional, hukum, keuangan, atau kelangsungan usaha Minna Padi ketika itu.

Minna Padi juga mesti menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) untuk meminta persetujuan para pemegang saham. Di sisi lain, mereka harus berurusan dengan OJK yang akan mengawasi langkah bisnis ini. Walau baru rencana, saham Minna Padi hari berikutnya langsung menguat 115 poin atau 8 persen menjadi Rp 1.520 per saham.

Kabar aksi Minna Padi rupanya diikuti PT Bahana Sekuritas. Anak usaha PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) ini menyatakan kesiapannya mengakuisisi Bank Muamalat ketika right issue digelar. Senior Manager Corporate Communication Bahana Group I Gede Suhendra mengatakan perusahannya memiliki kemampuan untuk ambil bagian dalam akuisisi tersebut. (Baca pula: Bahana Sekuritas Siap Akuisisi Bank Muamalat).

Dengan catatan, bila ada penugasan resmi dari pemerintah. “Kami siap melaksanakan penugasan dan kepercayaan dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara,” ujar Suhendra kepada Katadata, Rabu (25/10/2017). Sayang, rencana akuisisi ini redup dan tidak terdengar lagi hingga sekarang.

Sebulan kemudian, rasa was-was menyelimuti langkah Minna Padi. RUPS LB yang dijadwalkan pada 22 November 2017 terkait akuisisi Bank Muamalat batal. “Ditunda hingga waktu dan tempat yang akan diumumkan kemudian,” demikian pengumuman tertulis yang mereka sampaikan.

Padahal, restu dari para pemegang saham salah satu syarat yang harus disampaikan ke OJK. Baru setelah itu Minna Padi bisa memperoleh persetujuan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dari OJK atau Bank Muamalat. Bila keadaan ini berlarut hingga 31 Desember 2017, perjanjian jual-beli bersyarat tadi batal dengan sendirinya sesuai CSSA yang telah diteken.

Benar saja, dua pekan lalu, Minna Padi akhirnya mengumumkan bahwa perseroan batal mengakuisisi bank syariah tersebut. Menurut Direktur Minna Padi Harry Danardojo, posisi perusahannya berubah dari standy buyer hanya menjadi fasilitator bagi para investor yang berniat membeli Bank Muamalat. (Baca: Minna Padi Batal Beli Bank Muamalat).

Walau menyadari akan ada yang kecewa dengan keputusan tersebut, Harry memastikan masih terbuka untuk berpartisipasi dalam proses akusisi. “Kami berkomunikasi dengan Otoritas Jasa Keuangan baik dari sisi pasar modal maupun perbankan,” kata dia. Publik memang pernah menyoroti kemampuan Minna Padi untuk melakukan akuisisi tersebut. Sebab, hingga 30 Juni tahun lalu, aset broker saham ini hanya Rp 478 miliar. Adapun aset Bank Muamalat Rp 57,71 triliun.

Hingga berita ini turun, Direktur Utama Bank Muamalat Achmad Kusna Permana belum merespons atas permintaan konfirmasi yang disampaikan Katadata. Permana hanya membaca beberapa kali pertanyaan yang dikirm melalui pesan whats ap tanpa membalasnya.

Reporter: Martha Ruth Thertina

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami