Kekhawatiran terjadinya resesi di Amerika Serikat (AS) muncul setelah kurva yield obligasi pemerintah AS mengalami kondisi terbalik (inverted yield curve). Ini kejadian pertama dalam sepuluh tahun terakhir. Problemnya, inverted yield curve selama ini terbukti menjadi indikator akan terjadinya resesi. Akankah resesi benar terjadi dan bagaimana dampaknya ke Indonesia?

Pekan lalu, indeks New York Stock Exchange dan Nasdaq tumbang setelah yield obligasi pemerintah atau treasury bond tenor 5 dan 3 tahun mengalami kondisi terbalik atau inverted. Kurva terbalik terjadi ketika imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor singkat lebih tinggi dibandingkan yield obligasi dengan tenor yang lebih panjang. Fenomena ini terakhir kali terjadi pada 2007, menjelang krisis keuangan 2007-2008.

Sejak 1955, kurva imbal hasil terbalik terbukti menjadi indikator akan munculnya krisis. Yang seringkali menjadi ukuran adalah imbal hasil surat utang treasury tenor 10 dan 2 tahun. Pekan lalu, yang baru mengalami kondisi terbalik adalah yield obligasi pemerintah AS tenor 3 dan 5 tahun. Selisih (spread) imbal hasil mereka sudah tembus di bawah nol persen karena yield obligasi 3 tahun sudah melebihi 5 tahun.

Banyak analis meramal, kurva imbal hasil obligasi tenor 2 dan 10 tahun akan mengalami kondisi terbalik di akhir 2019. Fenomena ini mengikuti tren makin melandainya selisih yield surat utang pemerintah AS dari berbagai tenor sejak tiga tahun terakhir, yang dimulai dari obligasi dengan tenor yang berdekatan seperti antara tenor 3 dan 5 tahun.

bursa saham new york
Pedagang saham bekerja di lantai bursa di New York Stock Exchange (NYSE) di Manhattan, New York City, Amerika Serikat, Rabu (21/12). (ANTARA FOTO/REUTERS/Andrew Kelly)

Imbal hasil tenor 3 dan 5 tahun terakhir kali mengalami kondisi terbalik di Agustus 2005, sekitar 28 bulan sebelum krisis keuangan terjadi. Dalam kondisi normal, obligasi dengan tenor yang lebih panjang menawarkan yield yang lebih tinggi. Ini sesuai hukum time value of money, yakni makin lama investor menunggu jatuh tempo obligasi, imbal hasil yang didapatkan akan lebih besar.

Imbal hasil obligasi turun ketika harga surat utang tersebut naik lantaran permintaan di pasar terhadap obligasi tersebut tinggi. Dengan kata lain, saat ini investor ramai memburu surat perbendaharaan AS dengan tenor yang panjang. Dampaknya, harga obligasinya naik dan imbal hasilnya turun. Kondisi yang sebaliknya terjadi pada obligasi bertenor rendah. Lantaran suplainya lebih banyak, harganya turun dan yield naik.

Ada beberapa sebab mengapa ini bisa terjadi. Pertama, kebijakan Bank Sentral AS, The Federal Reserve untuk merampingkan neracanya. "Kebijakan The Fed dulu untuk melakukan quantitative easing dan sekarang dengan tapering off, paling berperan dalam mengacaukan yield obligasi," kata Thomas Simons, Ekonom Jefferies Financial Group seperti dikutip Reuters.

Saat terjadi krisis keuangan 2007-2008, The Fed memutuskan untuk menyuntikkan likuiditas ke pasar dan menurunkan bunga surat utang jangka panjang dengan memborong obligasi yang diterbitkan pemerintah AS dan institusi keuangan. Harapannya, kebijakan yang disebut sebagai quantitative easing tersebut akan memompa likuiditas dan menggerakkan pertumbuhan.

Mulai 2013, The Fed melihat kondisi perekonomian AS mulai membaik dan karena itu mulai mengurangi pembelian surat utang. Ini yang disebut sebagai tapering off. Kebijakan memborong obligasi jangka panjang ini akhirnya berhenti di Oktober 2014. Mulai Oktober 2017, melihat kondisi perekonomian yang membaik, The Fed memulai program untuk merampingkan neracanya dengan melepas surat utang yang dimilikinya.

Awalnya, nilai obligasi yang dilepas sebesar US$ 6 miliar. Pada saat puncaknya, The Fed akhirnya melepas obligasi hingga senilai US$ 50 miliar sebulan. Pelepasan ini awalnya disambut antusias investor pasar keuangan yang ramai-ramai membeli obligasi yang dilepas The Fed sehingga mengerek permintaan terhadap obligasi jangka panjang. Ujungnya, harga obligasi bertenor panjang melejit dan imbal hasilnya turun.

Kedua, perang dagang antara AS dan Tiongkok yang membuat jeri investor. Selain akibat suku bunga di AS yang kian menarik, kekhawatiran terhadap perang dagang mendorong investor untuk melikuidasi portofolio investasi di negara berkembang dan membeli aset finansial berjangka panjang di AS yang dinilai sebagai safe haven. Ini juga mendorong permintaan yang tinggi ke obligasi bertenor panjang yang pada gilirannya ikut menekan imbal hasil.

Sebaliknya, permintaan terhadap obligasi bertenor jangka pendek justru rendah, yang pada gilirannya mengerek imbal hasil surat utang bertenor pendek. Apalagi dengan kebijakan The Fed untuk terus menaikkan suku bunga acuan, para penerbit obligasi juga terpaksa menawarkan kupon lebih tinggi agar bisa bersaing dengan suku bunga yang ditawarkan perbankan.

Pertanyaannya, apakah ini berarti akan terjadi krisis? Mantan Gubernur The Fed Ben Bernanke membantahnya. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi AS di kuartal III-2018 cukup baik, Data pengangguran dan pertumbuhan upah juga masih positif. Data manufaktur yang dirilis pekan lalu juga menggembirakan. Singkat kata, kalau merujuk ke indikator makro, tak perlu ada kekhawatiran resesi.

Fenomena inverted yield curve juga tak selalu berujung krisis. Pertengahan 1960-an, kurva imbal hasil terbalik muncul dan tak ada krisis. Sebagian ekonom menilai, tak ada hubungan sebab-akibat antara inverted yield curve dengan krisis. Yang ada hanya hubungan waktu, bahwa seringkali sebelum krisis, terjadi kursa imbal hasil terbalik.

Bursa Saham
(Arief Kamaludin|Katadata)

Problemnya, obligasi bertenor pendek yang menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi mengacaukan konsep time value of money dan mengirim sinyal yang membingungkan ke perekonomian. Yield yang tinggi dari obligasi bertenor pendek juga memberatkan penerbit obligasi yang sebenarnya mengharapkan beban buna yang lebih rendah dari beban utama berupa kewajiban pengembalian utang dalam tempo yang lebih singkat.

Karena itu, menurut Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada, kekhawatiran terhadap resesi di AS bisa menghadirkan sentimen negatif ke pasar modal Indonesia. Apalagi, pasar dalam negeri mudah dipanikkan sentimen eksternal.

Namun, respon kebijakan dari The Fed dalam jangka pendek sejatinya punya kemungkinan menguntungkan emerging market seperti Indonesia. Untuk meredam kenaikan yield obligasi bertenor pendek, The Fed kemungkinan akan mengerem kenaikan suku bunga acuan Federal Fund Rate (FFR) yang sekarang sudah berada di level 2 persen-2.25 persen. Kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed ini yang menyebabkan nilai tukar mata uang emerging market terhadap dollar merosot akibat pembalikan arus modal keluar atau capital outflow.

Namun, dalam risetnya, ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Ananka menilai, kurva yield yang terbalik sesungguhnya memberi sinyal bahwa investor mengantisipasi risiko serius di perekonomian AS dalam beberapa tahun mendatang. Jika indikator ekonomi lainnya memburuk, sentimen yang diciptakan inverted yied curve akan membesar dan investor akan enggan mengambil risiko.

Ini akan meningkatkan permintaan aset safe haven seperti obligasi pemerintah AS dan dapat menyedot likuiditas dari negara-negara berkembang seperti Indonesia. Ujungnya, nilai tukar rupiah akan kembali terjungkal.

Menurut Jonathan Golub, Chief Equity Strategist Credit Suisse, jeda waktu antara terjadinya kurva yield terbalik dan krisis bervariasi antara 14 hingga 36 bulan. Selama itu, dunia akan menanti dengan penuh kekhawatiran.

Editor: Yura Syahrul

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami