Pemerintah berencana mengekspor produksi jagung nasional saat musim panen tiba akhir bulan ini hingga April. Rencana ini cukup aneh, karena di saat yang sama masih ada 30 ribu ton jagung impor yang akan masuk ke Indonesia. Pengendalian harga di dalam negeri menjadi alasan utama pemerintah mengimpor dan mengekspor jagung.

Rencana ekspor diungkapkan oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR di Kompleks Parlemen, Senin (21/1). Puncak panen akan membuat stok jagung nasional melimpah, sehingga bisa ekspor. Ekspor jagung akan dilakukan dari sentra produksi di Sulawesi dengan memfokuskan Filipina sebagai negara tujuan.

Menurut Amran, ekspor akan dilakukan dengan syarat harga jagung di dalam negeri turun ke bawah Rp 3.000 per kilogram (kg). "Ini kan nanti, menuju panen raya di Maret-April. Jadi harus dipersiapkan dari sekarang. Tapi dipastikan harga jagung di dalam negeri turun dulu di bawah Rp 3.000 per kg," ujarnya.

Di sisi lain Kementerian Pertanian (Kementan) baru saja meminta impor. Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan izin impor jagung untuk Februari sebanyak 30 ribu ton. Bahkan, total izin impor yang diterbitkan untuk semester I-2019 mencapai 440 ribu ton. Padahal, Kementan sendiri yang menyatakan akhir bulan ini beberapa sentra produksi jagung sudah mulai panen.

(Baca: Kemendag Buka Izin Impor 440 Ribu Ton Jagung untuk Kebutuhan Industri)

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution seolah membantah pernyataan Amran. Dia mengatakan panen jagung yang terjadi hingga April belum tentu bisa menutupi kebutuhan nasional. "Meskipun pada panen, panen berapa banyak? Pertanyaannya kan begitu. Kalau banyak dan melimpah, harga sudah jatuh," ujar Menko Darmin saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (22/1).

Menurutnya, impor menjadi satu-satunya upaya pemerintah untuk menekan melonjaknya harga jagung. Tingginya harga jagung akan berimbas pada kenaikan harga telur dan daging ayam. Padahal kedua jenis komoditas ini sangat dibutuhkan masyarakat.

Peternak di Indonesia sebagian besar adalah peternak kecil yang jarang memiliki gudang penyimpanan jagung besar. Sehingga, begitu terjadi kekurangan stok akan langsung mempengaruhi harga. Saat ini harga jagung lokal masih di atas Rp 5.000 per kg, sedangkan harga jagung impor hanya Rp 4.000 per kg. Pemerintah khawatir jika impor tidak dilakukan, harga jagung bisa kembali naik hingga mencapai Rp 8.000 per kg.

Sementara Kementan yakin panen jagung kuartal I tahun ini cukup besar dan akan mempengaruhi penurunan harga. Berdasarkan angka ramalan Kementan, akan ada produksi sebesar 1,78 juta ton pipilan kering (PK) jagung pada bulan ini. Angka produksinya akan meningkat pada bulan depan hingga mencapai 4,8 juta ton dan turun lagi menjadi 3,6 juta ton pada Maret. (Baca: Masa Panen, Mentan Klaim Akan Kembali Ekspor Jagung)

Adapun kebutuhan jagung diperkirakan sekitar 16 juta ton tahun ini. Tahun lalu kebutuhan jagung nasional mencapai 15,5 juta ton. Rinciannya sebesar 7,76 juta ton untuk pakan ternak, 2,52 juta ton peternak mandiri, 120 ribu ton benih, dan sisanya 4,76 juta ton untuk industri pangan.

Jika mengacu pada prediksi Kementan ini, rata-rata kebutuhan jagung setiap bulannya tahun ini hanya `1,3 juta ton. Masih lebih kecil dibandingkan produksi 1,78 juta ton. Bahkan, bulan depan akan ada jutaan ton produksi jagung yang akan membanjiri pasar. (Baca juga: Produktivitas Jagung Indonesia Tertinggal dari Thailand dan Tiongkok)

Ekspor dan Impor Jagung 2018
(BPS)

Menurut Kementan, impor tidak perlu terlalu dipermasalahkan karena volumenya kecil dan hanya akan digunakan sebagai stok. Namun, permasalahan impor ini masih menjadi perdebatan antara Kementerian Perdagangan dengan Badan Urusan Logistik (Bulog). Sebagai pelaksana, hingga kini Bulog belum juga menjalankan keputusan impor tersebut. 

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan tambahan impor ini merupakan keputusan bersama dalam rapat yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Akhir tahun lalu, pemerintah telah mengeluarkan izin impor sebesar 100 ribu ton dan hingga awal tahun sudah terealisasi 99 ribu ton.

Ternyata kuota impor ini masih kurang. Dalam rapat tersebut terungkap ada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Blitar dan sekitarnya yang belum kebagian. Makanya, pemerintah memutuskan kuota impor tambahan awal tahun ini. "Izin sudah saya keluarkan sesuai keputusan rakor, dan saat ini tinggal Bulog yang melakukan prosesnya," kata Enggartiasto usai rakor di kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (23/1).

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengakui ada pesanan impor dari beberapa peternak yang tidak kebagian jatah sebelumnya. Namun, meski sudah ada keputusan untuk impor, dia berkeras tidak ingin melaksanakannya. "Tidak harus. Kalau bisa dipenuhi dari dalam negeri, kenapa kita harus impor," ujar pria yang akrab disapa Buwas ini.

(Baca juga: Kementan Tegaskan Impor Jagung yang Dibuka Pemerintah untuk Industri)

Dia beralasan Bulog melakukan impor berdasarkan pesanan. Dari 99 ribu ton impor yang sudah terealisasi, semuanya didistribusikan kepada para peternak kecil yang memesan terlebih dahulu. "Nah sekarang ada yang bilang tidak kebagian, ya berarti mereka tidak pesan," ujarnya. 

Bulog juga tidak mau disalahkan impor jagung yang dinilai tidak maksimal. Menurutnya, kuota impor itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan para peternak kecil. Selain itu, peternak besar juga tidak pernah memesan jagung impor tersebut kepada Bulog.

Sementara Menko Darmin mengatakan salah satu evaluasi pelaksanaan impor jagung akhir tahun lalu adalah masalah distribusi. Bulog hanya menyebarkan jagung impor kepada peternak kecil saja. Padahal, seharusnya peternak besar juga mendapat jatah. "Tujuan impor bukan sekadar membantu peternak kecil, tapi menurunkan harga jagung. Kalau harga jagung tidak turun, harga telur pasti tetap tinggi," kata Darmin.

Jagung impor banyak diminta karena harganya lebih murah dari produksi lokal. Harga jagung lokal saat ini masih di atas Rp 5.000 per kilogram, sedangkan yang impor hanya Rp 4.000 per kilogram. Buwas mengatakan harga jagung impor masih harus ditambah biaya distribusi, sehingga sampai kepada peternak mencapai Rp 4.500 per kilogram. (Baca: Pengusaha Makanan Andalkan Sebagian Bahan Baku Jagung dari Impor)

Harga Jagung
(GPMT, Bloomberg)

Keyakinan Bulog untuk tidak impor, karena produksi jagung lokal yang sebentar lagi memasuki masa panen akan mampu menutup kebutuhan dalam negeri. Dalam waktu dekat stok jagung akan melimpah dan harganya bisa turun. Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memperingatkan Bulog agar bisa menyerap jagung produksi petani sebanyak-banyaknya.

Buwas mengatakan per 24 Januari 2019, Bulog sudah mulai mendapatkan jagung petani di beberapa titik sentra produksi. Salah satunya di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Namun, dia dia tidak menyebut berapa besar volume produksi dari sentra tersebut. 

Alih-alih impor, Buwas mengatakan Bulog justru mengalokasikan anggaran khusus untuk menyerap hasil panen jagung petani lokal sebanyak-banyaknya. Bulog akan membeli jagung hasil panen petani dengan harga Rp 3.150 per kg. Harga ini dinilai ideal dan sudah mengacu pada ketentuan Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

Dilematis menjadi alasan pemerintah melakukan impor tapi juga ekspor jagung. Di satu sisi impor dibutuhkan untuk menurunkan harga jagung lokal yang tinggi. Harga jagung yang mahal akan berimbas pada tingginya harga ayam dan telur. Namun di sisi lain, impor malah akan berdampak pada kelangsungan hidup petani jagung.

(Baca: Ruwetnya Data Jagung Kementan yang Memantik Efek Berantai)

Masalah jagung ini sepertinya akan terus ada selama pemerintah belum bisa membenahi sistem juga data produksi dan kebutuhan nasional. Kementan memperkirakan produksi jagung tahun lalu mencapai 30,4 juta ton. Sementara, konsumsinya secara nasional hanya mencapai 18 juta ton, sehingga ada surplus 12,4 juta ton. Masalahnya, Kementan juga yang meminta persetujuan impor dan mengungkapkan rencana ekspor.

Sepanjang tahun lalu Indonesia mengimpor 731 ribu ton jagung. Namun, Indonesia juga mengekspor jagung sebanyak 380 ribu ton. Jika memang ada surplus produksi hingga belasan juta ton dan yang diekspor ratusan ribu ton, seharusnya ada stok yang besar. Stok ini bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan peternak dan mengendalikan harga. Tentunya Indonesia tidak perlu lagi impor jagung.

Produksi Jagung
(Kementerian Pertanian)

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami