Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengakui saat ini hampir semua faktor pendukung pertumbuhan melambat. Namun, secara keseluruhan angkanya masih sesuai dengan hitungannya.
Memang ada perbedaan, seperti konsumsi yang ia perkirakan turun lebih besar, sementara investasi masih tinggi. “Tapi ternyata menurut BPS sebaliknya. Secara keseluruhan (hitungan BPS) masih oke,” ucap Pieter.
(Baca: Pertumbuhan Investasi Kuartal III Anjlok, Penyebabnya Kondisi Politik?)
PR Pemerintahan Jokowi untuk Jaga Pertumbuhan Ekonomi
Terlepas dari masalah hitung-menghitung itu, perlambatan ekonomi global jelas sudah memukul Indonesia. Hal ini perlu diantisipasi kalau tak mau terjerumus ke ambang resesi. Bhima menilai pemerintah harus menjaga konsumsi rumah tangga.
Pemerintah perlu memberikan relaksasi pajak kepada kelas menengah dan atas agar dapat meningkatkan konsumsi. Kinerja pertanian dan industri manufaktur yang melambat harus segera diatasi dengan berbagai stimulus. Tujuannya, supaya daya beli masyarakat kelas bawah pun tetap terjaga.
Untuk peningkatan investasi dalam negeri, kuncinya adalah reformasi birokrasi, perizinan, dan kenaikan indeks daya saing. Hal ini mengingat indeks daya saing Indonesia anjlok ke posisi 50 besar dunia. “Ini menandakan ada yang perlu diperbaiki segera,” ucap Bhima.
Terakhir, soal ekspor, seharusnya saat ini menjadi peluang bagi Indonesia di saat kinerja industri Tiongkok melemah. Tapi, lagi-lagi, ada kendala yang cukup substansial. Pemerintah perlu memperbaiki hambatan birokrasi dan melepaskan diri dari ketergantungan ekspor komoditas karena harganya sedang rendah.
Kenaikan impor barang konsumsi, terutama jelang Natal dan tahun baru, juga harus diwaspadai. “Kalau impor tak dibatasi, imbasnya pertumbuhan ekonomi akan terkontraksi,” katanya.
(Baca: Jokowi Minta Para Bankir Turunkan Bunga Kredit dan Salurkan ke UMKM)
Pekerjaan rumah terbesar pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini adalah menjaga agar pertumbuhan ekonomi tetap di angka 5% sebelum 2019 berakhir. Kalau di bawah itu, angka kemiskinan dan pengangguran semakin meningkat.
Berdasarkan data BPS, tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2019 mencapai 5,28% atau sekitar 7,05 juta orang. Angka ini sedikit lebih baik dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya di 5,34%. Namun, kalau dihitung secara jumlah, terjadi penambahan 50 ribu orang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui perekonomian dunia saat ini mengalami tekanan cukup berat. Pertumbuhannya kemungkinan hanya 3%. Sektor perdagangan mengalami pukulan telak karena perang dagang negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat, Cina, dan Eropa.
Volume perdagangan dunia tahun ini diperkirakan hanya naik 1,1%. “Risiko global yang perlu kita waspadai adalah perang dagang,” ucap Sri saat rapat dengan Komisi XI DPR, di Jakarta, Senin lalu. Meskipun negosiasi antar negara-negara yang berseteru itu terus berlangsung, ketidakpastian global justru semakin besar.
(Baca: Hong Kong Resesi, Bagaimana Dampaknya ke Ekonomi Indonesia?)
Ia meyakini kondisi ekonomi domestik masih relatif stabil. Ia membandingkan angka pertumbuhan ekonomi Singapura yang negatif, bahkan hanya 0,1%. Lalu, AS yang juga mengalami penurunan. Jerman bahkan pertumbuhannya hanya 0,4%. Tiongkok yang biasanya sanggup mencapai 7%, kini hanya 5,5%.
Eropa dan Jepang ikut terpengaruh. Begitu pula India, Thailand, dan Jepang. “Jadi di berbagai belahan dunia, pertumbuhan ekonomi mengalami pelemahan. Dan itulah yang perlu kita waspadai,” kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.