Kebijakan Co-Firing yang Memperpanjang Tradisi Deforestasi Indonesia

Fiorentina Refani
Oleh Fiorentina Refani
17 Juli 2025, 07:05
Fiorentina Refani
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Dalam lanskap kebijakan energi Indonesia, bersama dengan sumber panas bumi, co-firing biomassa tengah gencar didorong sebagai langkah progresif menuju penyediaan listrik yang berkelanjutan. Logika co-firing sebenarnya sederhana: mencampur batubara dengan bahan baku biomassa/B3m dalam rasio tertentu untuk dibakar di tungku PLTU.

Co-firing dimaksudkan mengurangi kuantitas batubara sehingga bisa menekan keluaran emisi dari proses pembakarannya yang padat karbon. Program ini sekaligus menjadi katalisator peningkatan target pengurangan emisi karbon dari 835 juta ton menjadi 912 juta ton pada 2030, sesuai dengan Enhanced-Nationally Determined Contribution/ENDC.

Melalui Permen ESDM 10/2025, co-firing diproyeksikan akan menyumbang 54 gigawatt atau 12,2% dari total kebutuhan ketenagalistrikan pada 2060. Selaras dengan itu, dalam RUPTL 2025-2034, termaktub klausul yang menjelaskan bahwa sumber bahan baku biomassa/B3m untuk program co-firing dapat berasal dari Hutan Tanaman Energi (HTE). Dua regulasi ini menjadi genealogi praktik agresif yang mendorong pengusahaan energi berbasis hutan.

Mengubah Hutan Jadi Pabrik Kayu

Menurut dokumen yang disusun PLN tersebut, tantangan utama program co-firing adalah pemenuhan feedstock. Proyeksi B3m untuk menyokong program ini jumlahnya fantastis; hingga 10,1 juta ton pada 2030 dan rata-rata 10,7 juta ton pada tahun selanjutnya. Dengan proyeksi tersebut, B3m yang tersedia saat ini dari limbah pertanian, perkebunan, dan industri—seperti cangkang dan tandan kosong sawit hingga tongkol jagung—tidak akan mampu mencukupi kebutuhan co-firing secara berkelanjutan tanpa ekspansi industri biomassa besar-besaran.

Untuk menjawab tantangan keberlangsungan feedstock dalam jangka panjang sehingga bisa diimplementasikan secara komersial, secara legal program ini diakselerasi melalui HTE. Seperti tertera di dokumen RUPTL, HTE sendiri merupakan area lahan produksi yang khusus diberdayakan untuk ditanami komoditas kayu cepat tumbuh sebagai B3m produksi listrik.

Melegalkan pengadaan B3m dari HTE artinya membuka akses lebih dalam ke kawasan hutan, atau dengan kata lain: deforestasi. Menukil kalkulasi Forest Watch Indonesia, deforestasi akibat kebijakan co-firing biomassa hanya dari 52 PLTU dengan blending rate 5-15% dapat mencapai 4,65 juta ha—lebih dari sepertiga luasan Pulau Jawa. Angka tersebut berasal dari 1,3 juta ha peralihan status izin kawasan, penambahan izin baru yang luasnya mencapai dua juta ha, serta 4 juta ha dari multiusaha kehutanan. Jumlah di atas belum lagi menghitung jika co-firing diimplementasikan di lebih banyak PLTU dengan target blending rate hingga 20%. Ke depan dikhawatirkan akan ada pengobralan izin HTE.

Ekspansi HTE sama dengan ancaman baru lagi terhadap hutan. Jika dulu hutan dibabat untuk memproduksi komoditas tanaman kayu menahun, sekarang hutan ditebang untuk kayu cepat tumbuh—gamal, kaliandra, lamtoro—kemudian diproses jadi woodchips, sawdust, dan wood pellet yang dibakar di PLTU. Alih-alih bertransisi ke model yang lebih berkelanjutan, label HTE ini sekadar mencuci produk sektor kehutanan dengan label ramah lingkungan untuk energi.

Analisis CELIOS (2024) menyebutkan bahwa produksi B3m melalui HTE selama ini dilakukan dengan pendekatan ekstraktif berbasis lahan: membuka kawasan, mengganti vegetasi asli dengan spesies non-native, dan menghasilkan produk untuk industri lewat pola perkebunan monokultur.

Cita-cita pengurangan emisi dari penerapan program ini pun jauh panggang dari api. Berdasar modelling yang dilakukan CREA, co-firing biomassa hanya akan mengurangi sekitar 1,5-2,4% dari total emisi PLTU batu bara konvensional. Angka ini belum pula memperhitungkan emisi yang dikeluarkan selama proses tanam-pelihara, pemanenan, hingga pemrosesan B3m sampai mencapai nilai kalori sesuai standar PLTU.

Bertolak dari analisis tersebut, artinya kebijakan ini hanya menjadi legal vehicle untuk memperpanjang model bisnis ekstraktif yang selama ini merusak ekosistem hutan dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat serta komunitas lokal. Alih-alih jadi kebijakan yang menjawab tantangan dekarbonisasi nasional.

Memperpanjang Napas Oligarki Kehutanan

Pada era Orde Baru, hutan dikelola oleh segelintir elite melalui pemberian dua jenis konsesi; konsesi logging lewat label Hak Pengusahaan Hutan/HPH serta konsesi kebun kayu monokultur dengan skema Hutan Tanaman Industri/HTI. HTI bersulih nama menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) dan dengan Omnibus Law berubah lagi menjadi Perizinan Berusaha Pengusahaan Hutan-Hutan Tanaman (PBPH-HT).

Seiring dengan makin ketatnya standarisasi market global untuk keperluan ekspor, ditambah lagi dengan pukulan pandemi sejak 2020, bisnis sektor kehutanan Indonesia mulai meredup. Sebagai salah satu cara menyelamatkan bisnis, banyak korporasi kehutanan bergegas mengubah atau memperluas perizinannya sebagai HTE.

Seperti temuan CELIOS di Kalimantan Tengah, PT Korintiga Hutani, yang sebelumnya bergerak di bidang logging dan produksi bubur kertas, kini beralih ke pengembangan kayu energi. Perusahaan pemegang IUPHHK-HT dengan konsesi seluas 94.378 ha menggeser produksinya menjadi woodchips dan wood pellet di bawah payung HTE.

Alih fungsi hutan sebagai lahan produksi kayu ini makin dikuatkan legitimasinya dengan Perpres 5/2025. Regulasi yang ditujukan untuk “menertibkan kawasan hutan” ini berpotensi menciptakan celah bagi ekspansi HTE dalam bentuk lebih terstruktur. Ini memberi ruang bagi perusahaan besar yang terlibat dalam industri kayu dan B3m untuk memperluas konsesi mereka dengan dalih penataan kembali kawasan hutan yang sebelumnya “terabaikan” atau dikuasai oleh masyarakat adat.

Melalui skema ini, perusahaan yang dulu menikmati keuntungan dari eksploitasi kayu kini mendapatkan legitimasi baru untuk mengelola hutan dengan dalih energi terbarukan.

Korporasi-korporasi padat modal yang sudah bercokol lama di sektor kehutanan dapat mengalihkan bisnis mereka tanpa perubahan fundamental terhadap praktik ekstraktifnya. Konsesi hutan tetap dikuasai kelompok yang sama—konglomerasi kehutanan, perusahaan energi, dan aktor politik yang memiliki kepentingan dalam industri biomassa.

Alih-alih memajukan perekonomian lokal, skema HTE justru makin meminggirkan masyarakat. Penggalangan lahan masif, perawatan intensif sehubungan dengan pola monokultur, dan padatnya modal yang diperlukan dalam pengembangannya tentu tidak didesain untuk dikelola oleh masyarakat. Hal ini justru memunggungi tujuan transisi energi yang seyogianya selaras dengan pencarian alternatif sumber ekonomi lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Oleh karena itu, bangun kebijakan harus bisa mengurai sistem energi nasional yang saat ini didominasi oleh korporasi besar. Desentralisasi energi dengan pengelolaan berbasis komunitas dapat menjadi jalan bagi lebih banyak pihak seperti koperasi, BUMDes, dan UMKM untuk berkontribusi dalam penciptaan nilai tambah di sektor energi. Menempatkan masyarakat sebagai subjek aktif pengelolaan energi sama saja dengan tambahan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Inilah bentuk investasi nyata bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Fiorentina Refani
Fiorentina Refani
Direktur Studi Sosio-Bioekonomi CELIOS

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...