Membangun dengan Data

 Alek Karci Kurniawan
Oleh Alek Karci Kurniawan
15 Mei 2025, 07:05
 Alek Karci Kurniawan
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Data yang akurat dan representatif adalah pondasi dari kebijakan publik yang benar-benar bermanfaat. Tanpa data yang kuat, keputusan bisa meleset jauh dari sasaran, berujung pada pemborosan sumber daya dan menurunnya kepercayaan masyarakat. Sayangnya, tantangan ini masih sering kita temui di Indonesia.

Tujuh tahun lalu, saya bekerja di pedalaman hutan Sumatra. Di sana, saya melihat sendiri bagaimana proyek bantuan perumahan untuk masyarakat adat gagal dimanfaatkan. Puluhan rumah dibangun, tapi akhirnya dibiarkan kosong dan rusak. Kenapa? Karena kebijakan itu tidak lahir dari pemahaman atas kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat.

Beberapa tahun terakhir, saat saya bertugas di kawasan perkotaan, saya kembali menjumpai hal serupa. Banyak fasilitas Tempat Pengolahan Sampah 3R (Reduce, Reuse, Recycle) yang dibangun dengan biaya ratusan juta rupiah, kini terbengkalai. Fasilitas-fasilitas itu tidak berfungsi karena perencanaannya tidak didasarkan pada data yang memadai—tentang kebutuhan warga, kapasitas operasional, atau tingkat partisipasi masyarakat.

Dari hutan sampai kota, dan mungkin di banyak daerah lainnya, kita melihat pola yang sama: kebijakan dan program yang gagal karena minim data. Laporan dan berita pun menunjukkan hal serupa. Bantuan alat pertanian, misalnya, kerap diberikan tanpa dukungan perawatan yang memadai (Ashari dkk., 2018). Distribusi guru juga tidak merata; ada sekolah yang kelebihan tenaga pengajar, sementara yang lain justru kekurangan (Kompas.com, 19/11/2024).

Dalam dunia kebijakan publik, ada prinsip yang dikenal sebagai evidence-based policy—kebijakan yang disusun berdasarkan data dan bukti yang sahih. Dengan pendekatan ini, keputusan bisa lebih rasional, transparan, dan akuntabel. Tanpa data yang kuat, anggaran bisa salah sasaran, program sulit berlanjut, dan tujuan pembangunan tak tercapai. Kita pun berisiko mengabaikan konteks sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat, sehingga solusi yang ditawarkan tidak relevan.

Membangun sistem kebijakan berbasis data butuh upaya menyeluruh, dari perencanaan strategis sampai keterlibatan publik. Banyak negara sudah membuktikan, kebijakan yang berlandaskan data yang valid dan representatif lebih efektif dan berkelanjutan.

Indonesia perlu strategi data nasional yang komprehensif. Kita harus mulai dengan memetakan data yang sudah ada di berbagai kementerian dan lembaga, menilai kualitasnya, lalu mengidentifikasi celah informasi yang belum terisi. Dengan begitu, perencanaan bisa benar-benar menyesuaikan kebutuhan nyata masyarakat.

Langkah berikutnya: kumpulkan dan integrasikan data dari berbagai sumber—survei lapangan, data administrasi pemerintah, studi ilmiah, hingga informasi dari sektor swasta dan masyarakat sipil. Penggabungan ini memungkinkan analisis yang lebih menyeluruh dan mencegah kebijakan timpang karena hanya mengandalkan satu jenis data. Tak sedikit proyek yang gagal karena informasinya parsial atau sudah usang.

Namun, data yang baik saja tidak cukup. Kita juga perlu budaya organisasi yang mendorong pemanfaatan data. Masih banyak birokrasi di negara berkembang, termasuk Indonesia, yang lebih mengandalkan intuisi, kebiasaan, atau tekanan politik ketimbang analisis data. Karena itu, membangun budaya berbasis data di instansi pemerintah sangat penting—bisa lewat pelatihan literasi data, insentif bagi penggunaan data dalam perencanaan dan evaluasi, serta kepemimpinan yang menekankan pentingnya bukti dalam setiap keputusan.

Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah bergerak ke arah ini melalui kebijakan Satu Data Indonesia (SDI), lewat Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2019. SDI bertujuan menghadirkan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dan bisa dipertanggungjawabkan, sekaligus mudah diakses antar instansi. Harapannya, perbedaan data bisa ditekan, dan pengambilan keputusan jadi lebih tepat sasaran.

Meski begitu, implementasi SDI masih menghadapi tantangan: keterbatasan SDM, infrastruktur teknologi yang belum merata, dan budaya birokrasi yang belum sepenuhnya mendukung keterbukaan data. Butuh komitmen kuat dari semua pihak untuk memperkuat tata kelola data, meningkatkan literasi, dan membangun sistem informasi yang terintegrasi.

Akhirnya, kita perlu ingat: pengelolaan anggaran yang tepat hanya mungkin terwujud jika didukung data yang akurat dan relevan. Tanpa itu, keputusan anggaran berisiko tidak mencerminkan kebutuhan riil masyarakat—mengarah pada pemborosan, dan gagal mewujudkan tujuan pembangunan yang kita cita-citakan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
 Alek Karci Kurniawan
Alek Karci Kurniawan
Perwakilan Indonesia di Forum Pemuda Internasional 2024 di PBB

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...