Di Belakang Layar Pariwisata dan Pembangunan Kintamani: Air untuk Siapa?


Setahun pelaksanaan The 10th World Water Forum di Bali, pemerintah masih belum menuntaskan berbagai pekerjaan rumah dalam menjamin akses air yang terjangkau. Alih-alih fokus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui akses air bersih yang terjangkau, pemerintah lebih terpikat untuk memperluas ekspansi pariwisata. Mungkin ini diupayakan pemerintah untuk mempertahankan penobatan Bali sebagai “The Best Island” di Asia-Pasifik sebagaimana penilaian DestinAsian. Praktiknya jelas tetapi kontradiktif, tak berpihak kepada masyarakat dan turut mengorbankan keanekaragaman hayati sebagai jalan memuluskan proyek.
Meskipun Bali dikelilingi lanskap perairan, wilayah pegunungan justru lebih mendominasi. Kintamani menjadi salah satu kawasan pegunungan yang paling dikenal. Meminjam topik kampanye yang digalakkan dalam laporan tahunan UN-Water pada 2025 bertajuk “The United Nations World Water Development Report 2025 – Mountains and glaciers: Water towers,” — pegunungan menjadi salah satu wilayah dengan air yang melimpah. Namun, area Kintamani dan sekitarnya, masih mengalami kendala.
“Saya kerja harian dan biasanya malam cari air sampai jam 8. Karena beli air mahal, sebulan Rp250 ribu-Rp300 ribu, berkuranglah dana untuk sekolah dan dapur…,” I Nengah Yasa, Warga Lingkungan Konyel, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Keluhan masyarakat lokal yang dilontarkan dalam studi yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum Bali Women Crisis Center (LBH BWCC) ini, seolah menjadi tamparan bagi pemerintah. Di balik geliat pariwisata yang dilakukan, ternyata masih ada warga lokal yang memiliki masalah ke akses air bersih. Temuan LBH BWCC lainnya, pemerintah Kabupaten Bangli yang menaungi kecamatan Kintamani masih getol menggiatkan perizinan pada pembangunan industri Hotel, Restoran, dan Kafe (HoReKa). Tak heran, turis dan korporasi menjadi yang paling diuntungkan dalam praktik ini.
Praktik Ketimpangan dan Dampaknya
Direktur Perumda Air Minum Tirta Danu Arta pada akhir Oktober 2024 menyatakan bahwa dari 24.398 pelanggan, ada 22.153 pelanggan rumah tangga yang dialiri air. Dia menuturkan 80% dari total pelanggan merasa puas dengan kinerja dari Perumda. Namun, apabila mengacu pada Laporan Profil Kependudukan Kabupaten Bangli pada Februari 2023, jumlah kepala keluarga di Kabupaten Bangli berkisar 75.559 keluarga. Dengan pertumbuhan laju penduduk Bangli per tahun 2023 sebesar 0,38%, maka diproyeksikan ada 75.846 rumah tangga di Kabupaten Bangli, dengan 53.693 di antaranya masih belum teraliri akses air bersih. Asumsinya, angka 80% tingkat kepuasan tersebut akan berganti menjadi 75% pengguna dan non-pengguna yang tidak puas dengan kinerja perusahaan penyedia layanan air tersebut.
Selain itu, apa yang dilontarkan pada pernyataan di atas masih menyisakan jejak terhadap tingginya kasus diare yang mencapai 2.469 kasus pada tahun tersebut—akibat minimnya akses air bersih. Kondisi di lapangan yang masih butuh penanganan serius, malah menjadikan Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Air Minum Tirta Danu Arta Kabupaten Bangli memperoleh penghargaan TOP BUMD Awards 2024 bintang 5.
Sementara itu, capaian sektor pariwisata Bangli disambut dengan sukacita, meskipun sebagian besar penduduknya masih bergantung pada sektor pertanian. Sektor pertanian yang menjadi tulang punggung dan penopang utama ekonomi Bangli, menyumbang 27,31% dari total PDRB senilai 7,91 triliun rupiah pada tahun 2023. Namun, petani-petaninya masih menghadapi kendala serius dalam mengakses air bersih akibat minimnya infrastruktur dan perhatian dari pemerintah.
Praktik di Kintamani menemukan perempuan rentan untuk tak dilirik. Padahal realitanya, kalangan perempuan menjadi salah satu pihak yang paling berdampak. Sebagai anggota keluarga, mereka kerap membantu kepala keluarga menafkahi keluarga. Di ruang domestik, mereka juga harus mengerjakan kegiatan rumah tangga, termasuk memenuhi kebutuhan akan air bersih di keluarga. Bagi mereka yang mampu, dapat membelinya dengan harga yang mahal. Namun bagi yang tidak, mereka harus mengakses jalan yang terjal sejauh ratusan meter untuk dapat mengangkut kebutuhan air bersih tersebut.
“...Sebagian besar (rumah) memang belum teraliri PDAM dan masih menggunakan jeding untuk menampung hujan, seperti di Bayung Gede. Saya juga sering kesulitan, bisa hanya dua hari sekali dengan durasi pendek (mendapatkan akses air), sekitar 2 jam. Sementara harga per kubik lumayan. Semoga suara masyarakat ini bisa didengarkan oleh Direktur PDAM,” Luh Putu Widiantri, Warga Lingkungan Konyel, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Merealisasikan Komitmen Hak Atas Air
“Negara menjamin hak rakyat atas Air guna memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari bagi kehidupan yang sehat dan bersih dengan jumlah yang cukup, kualitas yang baik, aman, terjaga keberlangsungannya, dan terjangkau.” Ini merupakan salah satu bunyi dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air. Pada Pasal 8 ayat (2) dalam Undang-Undang tersebut merincikan pula bahwa “kebutuhan pokok sehari-sehari”, jadi prioritas utama dalam pemenuhan hak atas air.
Kasus di Kintamani seolah menjadi jejak bukti panjang pengabaian hak rakyat atas air yang dilakukan oleh negara. Bukan hanya Bali, kondisi serupa juga dialami oleh banyak daerah lain di Indonesia, di mana jaminan negara dan pemerintah daerah terhadap akses air bersih dan berkualitas masih jauh dari kata layak. Ironisnya, masyarakat di wilayah-wilayah tersebut kerap kali minim eksposur media, bahkan hidup dalam bayang-bayang intimidasi proyek-proyek (yang katanya) strategis nasional—namun pada kenyataannya lebih banyak menguntungkan korporasi dan elite pemilik modal. Sudah saatnya pemerintah tidak hanya berbenah secara administratif, tetapi juga memperbaiki keberpihakan politiknya agar hak atas air benar-benar menjadi milik rakyat, bukan komoditas yang diperjualbelikan.
Situasi ini menegaskan pentingnya dilakukan audit lingkungan dan sosial secara menyeluruh terhadap proyek-proyek pariwisata, terutama di wilayah-wilayah yang menjadi sumber daya vital seperti Kintamani. Selama ini, ekspansi pariwisata cenderung dijalankan tanpa mekanisme akuntabilitas yang memadai, sehingga dampaknya terhadap akses air bersih, kesejahteraan masyarakat lokal, dan ketimpangan sosial tidak pernah benar-benar dipertimbangkan secara serius. Ketiadaan evaluasi menyeluruh justru melanggengkan ketidakadilan dan memperbesar kesenjangan antara kepentingan investor dengan kebutuhan dasar warga.
Pemerintah perlu mengevaluasi ulang arah pembangunan, agar tidak semata mengejar pertumbuhan ekonomi berbasis pariwisata, tetapi juga memastikan bahwa hak dasar masyarakat, termasuk hak atas air, benar-benar terpenuhi dan dilindungi.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.