Defisit APBN Terancam Bengkak Jadi Rp 662 Triliun, Sri Mulyani Ungkap Alasannya


Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah menyampaikan sejumlah perkembangan pengelolaan keuangan negara kepada Presiden Prabowo Subianto. Hal ini dilakukan menjelang penyampaian Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 pada 15 Agustus 2025 di Gedung DPR RI.
Dalam rapat terbatas dengan Prabowo, Sri Mulyani membahas pelaksanaan APBN hingga semester I 2025. Berdasarkan realisasi ini, Bendahara Negara itu juga memproyeksikan defisit APBN hingga akhir 2025.
“Sesuai dengan pembahasan dengan DPR, kami menyampaikan bahwa tahun ini 2025, outlook dari APBN akan mencapai defisit 2,78% dari PDB,” kata Sri Mulyani di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/7).
Penyebab Defisit APBN Membengkak
Menteri Keuangan sejak 2016 itu menjelaskan, defisit APBN terjadi karena dari sisi penerimaan maupun dari sisi belanja negara. Defisit APBN 2025 mencapai 2,78% ini berpotensi mencapai Rp 662 triliun.
Perkiraan defisit ini lebih tinggi dibandingkan target awal dalam APBN 2025. Sebelumnya pemerintah sudah menetapkan defisit sebesar 2,53% dari PDB atau sekitar Rp 616,2 triliun.
“Agak lebih lebar dibandingkan APBN awal, tapi masih cukup manageable," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (1/6).
Pelebaran defisit APBN dipicu karena tidak tercapainya target pendapatan negara. Sri Mulyani memperkirakan penerimaan negara pada 2025 hanya Rp 2.865 triliun atau 95,4% dari target awal Rp 3.005,1 triliun.
Salah satu sebab penerimaan negara menyusut karena pemerintah batal memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% untuk semua barang dan jasa. Padahal, penerapan pajak ini dapat mendongkrak penerimaan negara Rp 71 triliun.
"Karena adanya PPN yang tidak jadi. Tentu penerimaan kita menjadi lebih rendah," ujar Sri Mulyani.
Dalam outlook APBN 2025, proyeksi penerimaan pajak hanya Rp 2.076,9 triliun atau 94,9% dari target awal Rp 2.189,3 triliun. Sektor kepabeanan dan cukai justru menunjukkan kinerja positif dengan proyeksi penerimaan yang melebihi target yaitu Rp 310,4 triliun atau 102,9% dari target awal.
Sedangkan proyeksi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hanya mencapai Rp 477,2 triliun atau 92,9% dari target. Penurunan ini disebabkan karena tidak adanya tambahan setoran dividen dari BUMN ke kas negara pada tahun berjalan.
“Karena PNBP tidak lagi menerima dividen dari BUMN, jadi kehilangan Rp 80 triliun. Untuk estimasi PNBP akan kontraksi sebesar 18,3% karena komoditas, lifting minyak, maupun dividen BUMN yang tidak lagi diberikan ke APBN,” kata Sri Mulyani.
Sebaliknya, proyeksi belanja negara justru makin membengkak menjadi Rp 3.527,5 triliun. Angka ini mencapai 97,4% dari pagu belanja yang ditetapkan dalam APBN 2025.