Efisiensi Pemungutan Pajak RI Ungguli Cina dan India, Tapi Kalah dari Australia


Efisiensi biaya pemungutan pajak di Indonesia tercatat lebih baik dibandingkan sejumlah negara sejawat seperti Cina, India, dan Filipina. Hal ini terlihat dari rasio anggaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap penerimaan pajak nasional yang cenderung menurun dalam lima tahun terakhir.
“Bisa dilihat dari rasio anggaran Direktorat Jenderal Pajak terhadap penerimaan pajak sebagai tolak ukur kinerja kami. Ini cost of tax collection ratio kami, secara konsisten kami bisa mengefisienkan diri,” kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto, di Jakarta, Senin (14/7).
Rasio biaya pemungutan pajak di Indonesia tercatat sebesar 1,32% pada 2021, turun menjadi 1,13% pada 2022, lalu 1,06% pada 2023, sedikit naik ke 1,08% pada 2024 dan turun signifikan menjadi 0,89% pada 2025.
Menurut Bimo, komponen utama dari biaya tersebut mencakup gaji dan tunjangan pegawai, belanja barang, serta belanja modal.
Sebagai perbandingan, rasio biaya pemungutan pajak di Cina berkisar 1%–1,4%, di India 1,5%–1,9%, dan di Filipina 2%–2,4%. Namun Indonesia masih tertinggal jauh dari negara dengan sistem administrasi pajak yang sudah matang seperti Australia dan Amerika Serikat.
“Kalau dibandingkan negara-negara yang sistemnya sudah cukup mature, seperti Australia atau Amerika, kita memang masih jauh. Australia sudah di 0,5%, Amerika 0,4%,” ujar Bimo.
Realisasi Penerimaan Pajak 2025
DJP mencatat rata-rata penerimaan pajak bruto mencapai Rp181,3 triliun per bulan sepanjang semester I 2025. Total penerimaan pajak bruto mencapai Rp1.087,8 triliun, tumbuh 2,3% secara tahunan (yoy).
Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata penerimaan pada 2021 sebesar Rp111,4 triliun per bulan, serta sekitar Rp170 triliun per bulan pada 2022–2024.
“Alhamdulillah, di 2025 ini kami bisa mencatat Rp181,3 triliun rata-rata penerimaan per bulan di semester pertama,” kata Bimo.
Kontribusi penerimaan pajak terhadap total penerimaan negara hingga Juni 2025 mencapai 69,23%, atau naik hampir 1,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Beberapa kontributor utama penerimaan pajak neto adalah Pajak Penghasilan (PPh) Badan sebesar Rp151,71 triliun, PPh Orang Pribadi Rp14,06 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) Rp297,9 triliun, serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp11,56 triliun.
Penerimaan pajak neto mencapai Rp837,79 triliun. Pertumbuhan penerimaan per bulan sempat berfluktuasi di tengah pelemahan ekonomi global, dengan capaian tertinggi pada Juni 2025 tumbuh 15,8% yoy dan terendah pada Januari 2025 terkontraksi 41,9% yoy.
Bimo tak menampik adanya tekanan pada penerimaan akibat restitusi pajak yang cukup besar, terutama dari PPh Badan, PPN, dan PPnBM. Namun, ia optimistis penerimaan bisa pulih di semester kedua.
“Dari sisi penerimaan neto tahunan, di Juni ini kami bisa rebound dan mudah-mudahan ini sinyal positif untuk terus rebound sampai akhir Desember nanti,” katanya.