Konflik Iran-Israel Makin Panas, Kemenkeu Yakin APBN Masih Kuat Redam Dampaknya


Amerika Serikat (AS) sudah ikut campir dalam konflik Israel-Iran. Serangan AS ke situs nuklir Iran memicu kekhawatiran terhadap dampak lanjutan, termasuk tekanan terhadap perekonomian global seperti lonjakan harga bahan bakar minyak (BBM).
Meski begitu, pemerintah memastikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih mampu menjadi tameng untuk meredam dampak tersebut. Saat ini, potensi tekanan harga minyak akibat eskalasi konflik Timur Tengah dinilai masih bisa dikendalikan.
“Tekanan harga minyak terhadap inflasi, khususnya yang berkaitan dengan harga BBM, dapat diredam dengan adanya subsidi dan kompensasi yang diberikan pemerintah,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, Senin (23/6).
Deni memastikan pemerintah masih memiliki ruang fiskal untuk menyerap risiko inflasi melalui berbagai kebijakan penyesuaian. “Fungsi APBN sebagai shock absorber masih dapat berjalan dengan baik,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan, level harga minyak saat ini masih berada di bawah asumsi dalam APBN 2025, yakni US$ 82 per barel. Harga minyak Brent pada akhir pekan lalu tercatat di level US$ 77,27 per barel.
Sementara rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) masih di bawah US$ 73 per barel secara year to date. “Sehingga masih terdapat ruang fiskal untuk meredam rambatan inflasi,” kata Deni.
Selain itu, kepercayaan investor terhadap instrumen utang pemerintah seperti Surat Berharga Negara (SBN) juga masih terjaga. Meski terjadi aliran modal keluar (capital outflow), tekanan terhadap harga SBN dinilai masih sangat terbatas.
“Pemerintah terus mewaspadai risiko global dan transmisinya terhadap perekonomian domestik dengan menyiapkan langkah-langkah mitigasi awal dan mengoptimalkan peran APBN sebagai shock absorber,” ujar Deni.
Lonjakan Harga Minyak Mengintai
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai risiko terbesar dari konflik Iran-Israel bagi Indonesia adalah potensi lonjakan harga minyak dunia.
“Ketegangan geopolitik di Timur Tengah, khususnya antara Iran dan Israel, berpotensi memicu guncangan besar di pasar energi global,” kata Yusuf kepada Katadata.co.id.
Ia mengingatkan, Indonesia bukan lagi negara eksportir minyak bersih, sehingga setiap kenaikan harga minyak mentah akan langsung berdampak pada biaya impor energi dan memperlemah neraca perdagangan.
“Setiap kenaikan harga minyak mentah langsung berdampak pada biaya impor dan tekanan terhadap neraca perdagangan,” jelas Yusuf.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira juga menilai konflik Israel-Iran berpotensi besar memengaruhi perekonomian Indonesia, apalagi setelah serangan pertama AS ke Iran yang memicu kekhawatiran akan meluasnya eskalasi konflik.
Bhima mengingatkan, konflik ini bisa mengganggu distribusi migas dan bahan baku penting melalui Selat Hormuz, jalur vital perdagangan energi dunia. Menurutnya, harga minyak mentah berpotensi menyentuh kisaran US$ 80-83 per barel dalam waktu dekat, setidaknya pada awal Juli 2025.
“Meskipun permintaan energi global sedang melambat, konflik tetap bisa mendorong harga minyak naik signifikan,” kata Bhima.
Dengan kondisi ini, pemerintah perlu mengantisipasi lonjakan biaya impor BBM. Hal ini dapat memicu inflasi di tengah kondisi daya beli masyarakat yang masih lemah.