Celios Kritik Metode Pengungkuran Kemiskinan BPS yang Usang


Lembaga riset Center of Economic and Law Studies menilai metode pengukuran angka kemiskinan Badan Pusat Statistik sudah usang atau tidak relevan. Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar mengatakan hal itu menimbulkan sejumlah risiko.
BPS dinilai tidak mampu menangkap kompleksitas kemiskinan pada era ini. Pengukuran kemiskinan yang dilakukan oleh BPS masih bertumpu pada dua pilar lama. yaitu garis kemiskinan berbasis kecukupan kalori dan indikator kesejahteraan berbasis pengeluaran. "Ini pendekatan yang sah di era 1970-an,” kata Media dalam diskusi Celios di Jakarta, Rabu (28/5).
Metode ini sudah dipakai selama lima dekade sejak BPS pertama kali mengukur angka kemiskinan nasional. Pada akhirnya ada perbedaan mencolok antara data tersebut dan Bank Dunia.
BPS mencatat hanya 8,57% penduduk Indonesia dalam kondisi miskin atau sekitar 24,06 juta jiwa per September 2024. Pengukuran kemiskinan di Indonesia menggunakan pendekatan kebutuhan dasar.
Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam garis kemiskinan. Garis ini dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan.
Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari. Hal ini disusun dari komoditas umum, seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. Komponen nonmakanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.
Sedangkan Bank Dunia mencatat 60% penduduk Indonesia atau 172 juta orang tergolong miskin. Organisasi ini menghitung tingkat kemiskinan berdasarkan standar US$ 6,85 per kapita per hari.
“Metodologi keduanya berbeda, selisih ini menimbulkan kebingungan dan memperlemah kepercayaan publik terhadap data,” ujar Media.
Metode BPS Gagal Menunjukan Tantangan Ekonomi Masyarakat
Media menjelaskan salah satu risiko dari metode usang itu, yaitu data angka kemiskinan BPS gagal menunjukan tantangan ekonomi masyarakat di masa kini. Pendekatan yang digunakan BPS gagal merepresentasikan beban utang, ketimpangan akses layanan publik, hingga tekanan finansial rumah tangga kelas menengah.
“Rumah tangga yang terlilit utang pinjaman online atau harus menjual tanah agar anaknya bisa sekolah seringkali tidak tercatat sebagai miskin,” kata Media.
Di sisi lain, ia menyebut pengeluaran tinggi masyarakat dianggap sebagai tanda kesejahteraan. Hal tersebut belum tentu relevan dengan kondisi saat ini.
Masalah semakin kompleks ketika skema penduduk referensi yang digunakan dalam perhitungan garis kemiskinan justru berasal dari kelompok rentan yang mengalami penurunan daya beli.
“Hal ini menyebabkan garis kemiskinan tidak naik signifikan sehingga statistik kemiskinan seolah membaik padahal kesejahteraan memburuk.” ujar Media.
Alokasi Anggaran Pemerintah Jadi Tidak Tepat
Media mengatakan buruknya metodologi BPS dalam menentukan angka kemiskinan menimbulkan ketidaksinkronan yang sangat serius. Kondisi ini berdampak kepada alokasi anggaran pemerintah yang tidak tepat.
“Kebijakan alokasi anggaran menjadi tidak presisi dan skema bantuan sosial bisa meleset dari target,” ujar Media.
Menurut dia, hal itu yang menyebabkan persentase anggaran perlindungan sosial terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia menjadi salah satu yang terendah di Asia.
BPS Perlu Ubah Metode
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan upaya melakukan perubahan garis kemiskinan bukan hal yang tabu. Untuk itu, BPS perlu mengubah motode pendekatannya dalam menentukan angka kemiskinan.
Negara yang merevisi garis kemiskinan untuk memperbesar porsi bantuan sosial atau bansos adalah Malaysia pada 2019. “Nah berbeda dengan Malaysia, pemerintah Indonesia sepertinya ada kekhawatiran bertambahnya anggaran untuk perlindungan sosial dan subsidi kalau jumlah orang miskinnya bertambah banyak,” kata Bhima.
Di sisi lain, langkah BPS yang belum juga merevisi garis kemiskinan justru terkesan membatasi hak dan akses orang yang benar-benar miskin ke bantuan pemerintah.
Bhima menilai problematika soal data yang akurat juga membuat stimulus pemerintah menjadi kurang efektif. Contohnya, bantuan subsidi upah atau BSU yang berlaku Juni-Juli 2025 menciptakan ketimpangan antara pekerja formal dan pekerja informal.
Data BSU dasarnya data BPJS Ketenagakerjaan dan pada saat pandemi Covid-19 banyak pekerja informal dikecualikan dari bantuan itu."Sepertinya saat ini mengulangi kesalahan yang sama. Banyak pekerja informal, pekerja kontrak, ojol, dan pekerja outsourcing tidak mendapat BSU karena persoalan pendataan," ujar Bhima.