Goldman Sachs Ramal Defisit APBN Bengkak, Pangkas Rating Saham dan Obligasi RI


Goldman Sachs menurunkan peringkat aset Indonesia dengan alasan meningkatnya risiko fiskal imbas serangkaian program pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Bank asal Amerika Serikat ini memperkirakan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2025 membengkak menjadi 2,9%, mendekati batas defisit anggaran yang ditetapkan dalam UU Keuangan Negara sebesar 3%.
Mengutip Bloomberg, Goldman Sachs memangkas peringkat saham Indonesia dari overweight atau direkomendasikan untuk beli menjadi market weight atau netral. Bank Wall Steet ini juga menurunkan peringkat surat utang pemerintah Indonesia tenor 10 tahun hingga 20 tahun dari sangat disukai menjadi netral.
Pemangkasan peringkat ini dilakuka setelah Goldman Sachs menaikkan proyeksi defisit anggaran Indonesia pada tahun ini dari sebelumnya 2,5% menjadi 2,9%. Proyeksi defisit APBN ini lebih tinggi dibandingkan yang dipatok pemerintah dalam APBN 2025 sebesar 2,53% atau realisasi tahun lalu 2,29%.
Apa Penyebab Goldman Sachs Menaikkan Proyeksi Defisit APBN?
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat
mengungkapkan, lembaga investasi ternama di dunia ini memprediksi defisit Indonesia bisa mencapai Rp 650 triliun hingga Rp 750 triliun. Menurutnya, prediksi ini mejadi baseline realistis oleh para investor dunia.
Hidayat menyatakan ada beberapa hal yang menyebankan defisit APBN makin lebar. Janji kampanye Presiden Prabowo-Gibran yang mengandalkan belanja tinggi sangat berdampak terhadap APBN.
“Ini terutama karena belanja sosial dan pangan, ruang fiskal untuk pemotongan belanja menjadi terbatas,” ucap Hidayat.
Sementara itu, Hidayat mengatakan utang baru untuk menutup defisit akan menjadi lebih mahal. Hal ini dikarenakan pasar obligasi sudah mulai bereaksi negatif melihat penerimaan negara yang anjlok.
Di sisi lain, yield obligasi dari surat utang negara (SUN) sudah mulai naik. “Ini menandakan pasar menuntut premi risiko lebih tinggi untuk utang pemerintah, akibat kekhawatiran fiskal,” kata Hidayat.
Ia menegaskan, jika pemerintah terus memaksakan belanja tanpa disertai penerimaan yang memadai maka risiko pembengkakan utang akan meningkat. Pada akhirnya juga akan memperbesar beban bunga utang yang sudah melebihi Rp 500 triliun per tahun.
Meski begitu, Hidayat menilai proyeksi defisit Goldman Sachs masih dalam batas optimis jika tidak disertai pembenahan serius. “Berdasarkan prediksi kami pada akhir Januari 2025, potensi defisit hingga Rp 800 triliun atau hampir 3% PDB adalah skenario yang realistis jika situasi ini terus berlanjut tanpa solusi cepat,” kata Hidayat.
Defisit Makin Lebar Jika Pemerintah Gagal Lakukan Efisiensi
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengungkapkan proyeksi dari Goldman Sachs bisa saja terjadi. Terlebih jika pemerintah gagal melakukan efisiensi anggaran.
“Prediksi Goldman Sachs bisa saja terjadi, jika Pemerintah gagal melakukan efisiensi dan memangkas program besar yang boros anggaran,” kata Wijayanto.
Lalu pada saat yang bersamaan penerimaan negara juga memburuk akibat aktivitas ekonomi. Belum lagi di tengah kondisi daya beli masyarakat yang merosot.
Wijayanto menambahkan, pelaksanaan Coretax sejak 1 Januari 2025 yang bermasalah juga diprediksi memberikan dampak negatif terhadap penerimaan nehata. “Ditambah lagi makin diperburuk dengan administrasi perpajakan yang belum juga membaik akibat faktor Coretax,” ucap Wijayanto.