Didorong Bansos, Penurunan Kemiskinan dan Ketimpangan Disebut “Semu”

Martha Ruth Thertina
Oleh Martha Ruth Thertina - Rizky Alika
17 Juli 2018, 17:35
Kemiskinan
Arief Kamaludin|KATADATA
Aktivitas keseharian warga di pemukiman padat penduduk Kampung Dao, Jakarta.

Hasil survei terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kemiskinan dan ketimpangan ekonomi turun. Bahkan, angka kemiskinan berada di posisi terendah sejak 1998. Namun, para ekonom menyebut penurunan yang terjadi semu dan rentan fluktuasi. Penyebabnya, data-data tersebut ditengarai bukan berkat perbaikan struktural.

Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan data angka kemiskinan dan ketimpangan harus dibaca dengan hati-hati. Tingkat kemiskinan yang turun ke level 9,82% nyatanya seiring dengan kenaikan signifikan bantuan sosial (bansos). Jika suatu saat terjadi masalah fiskal dan bansos dikurangi, ia menduga angka kemiskinan bakal kembali naik.

(Baca juga: BPS: Bantuan Pangan Non-Tunai Tekan Angka Kemiskinan di Bawah 10%)

“Bantuan sosial tunai dari pemerintah naik 87,6% pada triwulan I 2018. Selain itu, program beras sejahtera serta bantuan pangan nontunai juga berhasil didistribusikan ke masyarakat sesuai jadwal,” kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (17/7).

Di sisi lain, ia melihat adanya kemungkinan angka kemiskinan terbantu oleh waktu survei BPS yang bertepatan dengan panen raya. “Penduduk miskin rata-rata 60% di sektor pertanian, apakah survei dilakukan saat panen raya? Kalau panen, upah buruh tani naik, orang miskin menurun,” ujarnya. Hasil survei bisa berbeda jika dilakukan dalam kondisi panen bermasalah imbas faktor cuaca atau lainnya.

Tingkat ketimpangan atau rasio gini yang turun dari 0,391 per September 2017 menjadi 0,389 per Maret 2018 juga dianggap Bhima sebagai pencapaian semu. Sebab, rasio tersebut diukur berdasarkan pengeluaran bukan aset, sehingga tak sepenuhnya bisa mencerminkan kondisi ketimpangan.

(Baca juga: Kalla Ingatkan Ketimpangan Ekonomi Daerah Bisa Timbulkan Perpecahan)

Menurut dia, bila mengacu pada data BPS, ketimpangan yang turun terjadi lantaran porsi pengeluaran penduduk kaya alias kelompok 20% teratas berkurang dari 46,4% menjadi 46,09%. Ia menduga, kelompok ini sengaja menahan belanjanya dengan berbagai alasan dari mulai kekhawatiran terhadap ketidakpastian kondisi makro ekonomi hingga pajak.

Penurunan ketimpangan juga disebabkan porsi pengeluaran penduduk 40% terbawah yang naik dari 17,12% ke 17,29% dalam satu tahun terakhir, didorong oleh bansos dan rastra yang naik signfiikan. “Artinya ketimpangan yang seolah-olah turun sebenarnya semu,” kata dia.

Ia pun menekankan perlunya mengalokasikan anggaran negara untuk program-program yang bisa membuat penurunan kemiskinan dan ketimpangan berjangka panjang. Salah satunya yakni dengan mendorong penggunaan dana desa untuk proyek padat karya untuk pembangunan infrastruktur desa.

“Kalau (program) bansos konsumtif dan tergantung kondisi fiskal. Karena anggaran pemerintah ada batasnya. Sekarang belanja bansos dan subsidi diperbesar, artinya infrastruktur bisa dikorbankan. Ini biasa terjadi jelang Pemilu, bansos naik. Atas nama elektabilitas jorjoran bansos, ini enggak sehat,” ujarnya.

Adapun sejauh ini, ia menyebut realisasi penggunaan dana desa untuk proyek padat karya terkait infrastruktur desa masih lambat. Hal ini terindikasi dari ketimpangan ekonomi di desa yang tercatat naik dari 0,320 pada September 2017 menjadi 0,324 pada Maret 2018.

(Baca Juga: 10 Fokus Jokowi Mengatasi Ketimpangan)

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengapresiasi penurunan tingkat kemiskinan maupun ketimpangan. Namun, ia menekankan pemerintah jangan cepat berpuas diri, lantaran masih banyak yang perlu diperbaiki.

Sejalan dengan Bhima, ia menyebut tingkat kemiskinan masih rentan naik-turun alias fluktuatif. Tingkat kemiskinan yang turun saat ini disebabkan bergesernya penduduk miskin menjadi mendekati miskin, bukan karena adanya lompatan kesejahteraan.

“Bila terjadi shock economy, penduduk mendekati miskin sangat mudah bergeser kembali miskin,” ujarnya. Ia pun tak menampik faktor bansos turut membantu bergesernya penduduk miskin menjadi mendekati miskin.

Di sisi lain, rasio gini yang berada di level 0.389 dianggap Bhima masih terlalu besar sehingga menunjukkan tingkat ketimpangan masih tinggi. Meski begitu, ia mengakui tidak mudah untuk memperbaiki tingkat kemiskinan dan ketimpangan. Perbaikan juga memerlukan waktu yang panjang.

Ia menyebut berbagai program pemerintah seperti pembangunan infrastruktur, redistribusi aset, bantuan melalui berbagai kartu sakti akan bisa menurunkan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan. “Yang perlu ditingkatkan adalah konsistensi,” ujarnya.

Selain itu, ia juga menyinggung soal pentingnya program-program untuk membantu penduduk miskin agar bisa mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang lebih pasti dan tetap.

Sementara itu, pemerintah menyambut gembira penurunan tingkat kemiskinan dan ketimpangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan tingkat kemiskinan telah jauh turun dibandingkan saat terjadi krisis moneter 1998 di era Presiden Soeharto.

"Kemiskinan pada masa Soeharto mencapai 24% lalu pada masa SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) bisa diturunkan menjadi 11% tetapi setelah itu stuck di situ," kata dia di Jakarta, Senin (16/7). Ia pun menjanjikan pemerintah bakal terus mengupayakan pencapaian yang lebih baik.

Secara khusus, terkait ketimpangan desa yang justru naik, Sri Mulyani menyatakan akan melakukan evaluasi terhadap dana desa. Dalam dua tahun ini, pemerintah mengalokasikan dana desa sebesar Rp 60 triliun, dan pemerintah berencana menaikkan lagi tahun depan. “Ini yang harus dievaluasi dengan sangat teliti,” kata dia.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...