Dampak Berantai Perang Dagang AS - Tiongkok terhadap Ekonomi Indonesia
Pemerintah sepertinya akan sulit mendongkrak pertumbuhan ekonomi tahun ini. Salah satu faktor penahannya adalah defisit neraca dagang yang semakin melebar. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut defisit pada April 2019 tembus US$ 2,5 miliar, terdalam sepanjang sejarah.
Jika dibandingkan periode Januari-April 2019, nilai ekspor mencapai US$ 53,2 miliar dan impornya US$ 55,76 miliar. Angka defisitnya menjadi US$ 2,56 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan periode serupa 2018 yang hanya US$ 1,4 miliar.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, lonjakan defisit terjadi karena pengaruh situasi global akibat perang dagang. “Kondisinya tidak mudah, 2019 ini tantangannya akan luar biasa,” katanya pada Rabu lalu (15/5).
Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok memanas dalam seminggu terakhir. Masing-masing negara saling berbalas menaikkan tarif produk impornya dan belum menemukan kata sepakat sejak melakukan perundingan dagang pada Januari 2018.
(Baca: Neraca Dagang April Defisit, Rupiah Diprediksi Melemah hingga Juni)
Negara lain jadi ikut kembang-kempis menanti kepastian dari dua penguasa ekonomi dunia itu. Dampaknya, permintaan dan harga barang ikut lesu. IMF memangkas pertumbuhan ekonomi global tahun ini menjadi 3,3% atau turun 0,2 poin dari estimasi Januari lalu.
Perdagangan Indonesia terkena imbasnya. Angka defisit neraca migas sedikit membaik, dari US$ 3,89 miliar pada Januari-April 2018 menjadi US$ 2,76 miliar pada periode sama tahun ini. Jumlah impornya mulai turun karena sejak Januari lalu Pertamina mulai menyerap minyak mentah hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Neraca nonmigas pada Januari-April 2018 mencatatkan surplus US$ 2,49 miliar. Tapi tahun ini angkanya jeblok menjadi US$ 204,7 juta. Dari sisi impor mengalami pelemahan. Namun, penurunan yang lebih besar terjadi pada ekspornya.
Kalau melihat lebih rinci, sektor manufaktur yang menjadi andalan ekspor turun 7,83%. Pertanian sedikit melemah sekitar 3%. Lalu, ekspor tambang mengalami pelemahan terbesar, yaitu 12,26%. Harga komoditas yang turun memicu pelemahan ini. Ekspor nonmigas Indonesia ke tiga negara utama, yaitu Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang, mengalami penurunan.
(Baca: Masih Terpapar Perang Dagang AS - Tiongkok, IHSG pada Jumat Pagi Turun)
Menteri Keuangan Sri Mulyani melihat situasi ini sebagai sinyal perang dagang tidak akan reda dalam jangka pendek. “Karena pola konfrontasinya sangat head to head. Ketegangan akan cukup panjang,” katanya.
AS dan Tiongkok sudah mengalami perlambatan pertumbuhan. “Untuk saat ini, kita tidak mungkin mengandalkan ekspor sebagai engine of growth,” ujarnya.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pun sependapat dengan hal itu. Menurut dia, kinerja ekspor sulit diandalkan tahun ini. Bank sentral kemarin mengubah proyeksi defisit transaksi berjalan tahun ini dari 2,5% menjadi di kisaran 2,5-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Prediksi pertumbuhan ekonomi pun terpangkas menjadi di bawah 5,2%.
Namun, Perry melihat masih ada potensi ekspor ke India dan Spanyol. "Ekspor ke mitra dagang lain, akan mampu menopang ekonomi di luar Jawa yang ditopang ekspor komoditas," katanya.
Defisit Neraca Anggaran Naik
Akibat perang dagang, neraca anggaran negara pun terkena dampaknya. Kementerian Keuangan mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada April 2019 mencapai Rp 101,04 triliun atau 0,63% dari PDB. Angkanya melebar dibandingkan April 2018 yang tercatat Rp 55,1 triliun.
Pendapatan negara pada April 2019 hanya tumbuh 0,5%. Padahal angkanya untuk periode yang sama tahun lalu mencapai 13,3%. Penerimaan pajak cuma naik 1%. Angka pertumbuhan pajak jauh berkurang karena dua tahun sebelumnya untuk periode serupa bisa mencapai dua digit. Sri Mulyani mengatakan, pelemahan ini menjadi tanda memburuknya ekonomi global.
Penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) migas mencapai Rp 22,2 triliun atau tumbuh 5,2% secara tahunan. Turunnya harga minyak dunia ke US$ 62,44 per barel pada April atau di bawah asumsi awal APBN sebesar US$ 70 per barel membuat angka penerimaan migas jadi anjlok.
Kondisi itu juga diperburuk dengan lifting (penyaluran) minyak yang hanya mencapai 735,4 ribu barel per hari hingga April, lebih rendah dari asumsi 775 ribu barel per hari. "Jadi harga minyak lebih rendah, asumsi minyak kuat, dan lifting rendah. Sektor migas terkena tiga imbas itu sehingga penerimaan sektor migas lebih rendah," ujarnya.
(Baca: Sri Mulyani: Dampak Pelemahan Global, Penerimaan Negara Cuma Naik 0,5%)
Pajak nonmigas tumbuh tipis 0,8% atau sebesar Rp 364,8 triliun. Sri Mulyani menyoroti penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) karena melambat 4,3% menjadi Rp 129,9 triliun. Perlambatan terjadi lantaran kebijakan percepatan restitusi atau pengembalian pajak.
Dari sisi realisasi belanja negara pertumbuhannya tak jauh beda dibandingkan tahun lalu. Pada April angkanya 8,4% atau sebesar Rp 631,8 triliun. Posisi utang, menurut Sri Mulyani, masih di level aman, yaitu 29,65% dari PDB..
Pengamat pajak Yustinus Prastowo menilai, pemerintah harus mewaspadai turunnya pertumbuhan penerimaan pajak. “Sudah empat bulan berlangsung, namun trennya tahun ini menurun,” katanya.
Menurut dia, ada tiga faktor penyebab turunnya penerimaan pajak Januari-April 2019. Pertama, perlambatan ekspor yang membuat penerimaan PPN otomatis jadi rendah.
Kedua, harga komoditas yang lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu. Praswoto mengatakan, pemerintah perlu segera mencari strategi mengejar PPN ke nonkomoditas Terakhir, karena Pemilu 2019 yang masih berlangsung. Banyak investor asing yang masih menunggu kepastian politik Indonesia.
Dengan kondisi penerimaan pajak yang hanya tumbuh tipis, Prastowo pesimistis pertumbuhan ekonomi akan mencapai target 5,2% pada akhir tahun. “Apalagi ini sudah bulan Mei ya. Saya rasa agak berat,” tutupnya
(Baca: Menteri Darmin Waspadai Perang Dagang yang Tak Akan Cepat Selesai)