Pemerintah Terbitkan Peraturan Bidik Harta Tersembunyi Wajib Pajak

Desy Setyowati
20 September 2017, 10:57
Pajak
Arief Kamaludin|KATADATA

Pemerintah baru saja menerbitkan peraturan untuk pegangan Direktorat Jenderal Pajak dalam membidik penerimaan dari harta tersembunyi milik wajib pajak. Aturan tersebut merupakan turunan dari Pasal 13 dan 18 Undang-Undang Pengampunan Pajak (tax amnesty). 

Peraturan yang dimaksud yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan. Meski merupakan aturan turunan dari UU Pengampunan Pajak, namun peraturan tersebut juga berlaku bagi wajib pajak yang bukan peserta pengampunan pajak. 

Mengacu pada salinan PP yang diterima Katadata, peraturan tersebut mengatur pengenaan pajak atas harta bersih tambahan sesuai Pasal 13 ayat 4 UU Pengampunan Pajak, harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan sesuai Pasal 18 ayat 1 UU Pengampunan Pajak, dan harta bersih yang belum dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT) tahunan Pajak Penghasilan (PPh) sesuai Pasal 18 ayat 2 UU Pengampunan Pajak. 

Harta bersih tersebut dianggap sebagai penghasilan sehingga dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final. “Dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan Pajak Penghasilan,” demikian tertulis dalam Pasal 3 ayat 2 PP anyar tersebut. (Baca juga: Realisasi Pajak 53%, Pemerintah Tagih Komitmen Peserta Tax Amnesty)

Secara rinci, tarif pajak final yang dimaksud yaitu, untuk wajib pajak badan sebesar 25%, wajib pajak orang pribadi 30%, dan wajib pajak tertentu 12,5%. Yang termasuk wajib pajak tertentu yaitu wajib pajak dengan penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas paling banyak Rp 4,8 miliar, serta wajib pajak yang menerima penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada tahun pajak terakhir paling banyak Rp 632 juta.

Bila mengacu pada UU Pengampunan Pajak Pasal 18, peserta pengampunan pajak yang kedapatan belum atau kurang mengungkapkan harta, maka atas harta tersebut bukan hanya dikenakan pajak penghasilan, tapi juga sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang dibayar. Namun, dalam PP, tidak dipaparkan tentang sanksi 200% tersebut.

Adapun PP tersebut bisa menjadi senjata baru bagi Ditjen Pajak dalam upayanya mengejar penerimaan pajak lewat penegakan hukum. Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan untuk mencapai target penerimaan pajak, institusinya melakukan upaya lebih (extra effort) melalui intensifikasi, ekstensifikasi, pemeriksaan, dan penegakan hukum (law enforcement).

Dalam hal penegakan hukum, Yoga mengakui pihaknya tengah menunggu diterbitkannya PP turunan UU Pengampunan Pajak. "Kalau PP sudah selesai dari Kemenkeu, kami Ditjen Pajak siap laksanakan PP itu nantinya,” kata dia. (Baca juga: Sri Mulyani sebut Laporan Ponsel di SPT Pajak Telah Berlaku Sejak Lama)

Sepanjang Januari hingga Agustus lalu, penerimaan pajak tercatat baru mencapai Rp 686 triliun. Pencapaian tersebut baru 53,5% dari target tahun ini yang sebesar Rp 1.283,6 triliun. 

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...