Komitmen Pendanaan Iklim Negara Maju Kendor, Indonesia Perlu Dukungan Swasta


Rencana Indonesia untuk menagih realisasi pendanaan iklim dari negara-negara maju dalam Konferensi Tingkat Tinggi Iklim PBB atau COP30 di Brasil pada November mendatang dinilai menghadapi tantangan.
Pendiri dan Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, menyebut kemungkinan realisasi pendanaan iklim dari negara-negara maju ini rendah. Dengan demikian, Indonesia tidak dapat mengandalkannya.
“Dana ESG, dari private sector untuk keperluan environment, social, and government lebih banyak, triliunan,” tutur Dino kepada wartawan, Selasa (22/7).
Untuk memperoleh hal tersebut, Dino menekankan perlunya fasilitas dan kemudahan untuk dana-dana ini masuk ke Indonesia.
Sejauh ini, kontribusi swasta baru mencapai 9% dari total investasi. Pendanaan iklim di Indonesia lebih banyak dibebankan ke sektor publik, termasuk dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tidak akan memenuhi kebutuhan.
Di samping itu, mundurnya negara maju dari komitmen global disebut Dino dapat menjadi peluang Indonesia untuk menjadi pelopor. Posisi Indonesia sebagai anggota BRICS dan anggota G20 dapat memperkuat kredibilitas sebagai negara yang memiliki kekuatan diplomasi global dalam upaya transisi energi.
Sebelumnya, Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono, menuturkan Indonesia akan menuntut realisasi pendanaan iklim dari negara maju pada COP30 mendatang. Diaz menyebut, bantuan pendanaan iklim ini tidak hanya soal uang, melainkan mencerminkan komitmen negara maju terhadap keadilan iklim.
“Data terakhir dari UNFCCC menunjukkan bahwa hingga 2022, jumlah yang benar-benar tersedia baru mencapai USD67 miliar. Bagi Indonesia ini bukan sekadar angka, ini bukti komitmen global terhadap keadilan iklim masih cukup timpang,” kata Diaz.
Distraksi Geopolitik terhadap Pendanaan Iklim
Dino juga mengungkapkan situasi geopolitik global yang sedang tidak stabil dapat memengaruhi pendanaan iklim. Dana yang sebelumnya dialokasikan untuk transisi energi dan upaya menghadapi perubahan iklim lainnya, dialihkan untuk menyelesaikan persoalan geopolitik.
Tak hanya itu, kebijakan perdagangan yang diterapkan Amerika Serikat (AS) juga dinilai memberi pengaruh pada aktivitas penanganan perubahan iklim. “Kebijakan perdagangan dunia juga berdampak pada masalah perubahan iklim,” tutur Dino.
Saat ini, FPCI tengah mempertimbangkan sistem atau pola perdagangan dan upaya penanganan iklim yang saling memberikan dampak positif.
“Mungkin barang-barang yang hijau bisa dapat tarif 0%,” kata Dino.
FPCI juga sedang menyiapkan konferensi iklim tahunan bertajuk Indonesia Net-Zero Summit 2025 yang akan diselenggarakan 26 Juli mendatang. Topik utama Indonesia Net-Zero Summit tahun ini menyoroti distraksi global terhadap komitmen Indonesia menghadapi perubahan iklim.
Beberapa isu yang akan dibicarakan dalam konferensi ini adalah keseimbangan antara ketahanan dan kelestarian lingkungan, kolaborasi industri dan bisnis mencapai net zero emission, membangun sistem adaptasi bencana iklim, serta diskusi pendanaan memadai untuk transisi hijau.