Mandat Bahan Bakar Hijau Uni Eropa Dikritik Mahal dan Tak Bantu Lingkungan

The International Air Transport Association (IATA) atau Asosiasi Transportasi Udara Internasional menyampaikan kritik pedas terhadap mandat bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF) Uni Eropa, pada Rabu (16/7). IATA menyebut inisiatif ini mahal, namun tidak membantu lingkungan karena pasokan bahan bakar berkelanjutan regional tetap rendah.
"Gagasan bahwa Anda membeli bahan bakar berkelanjutan dan kemudian mengangkutnya untuk digunakan di Eropa, bukanlah cara yang tepat untuk melakukannya. Ini karena Anda jelas meningkatkan jejak karbon dari bahan bakar itu sebagai akibat dari biaya transportasi," kata Willie Walsh, Direktur Jenderal IATA, dalam diskusi dengan media di Singapura, seperti dikutip dari Reuters.
IATA memperkirakan, produksi Sustainable Aviation Fuel (SAF) pada bulan Juni, yang dianggap sebagai pengganti rendah karbon untuk bahan bakar jet tradisional, akan mencapai 2 juta metrik ton atau 0,7% dari konsumsi bahan bakar maskapai penerbangan pada tahun 2025.
"Memandatkan penggunaan produk yang tidak tersedia tidak mengarah pada manfaat lingkungan," kata Walsh.
SAF Meningkatkan Biaya Maskapai Penerbangan
Walsh menambahkan bahwa perusahaan bahan bakar yang memiliki kewajiban untuk memproduksi SAF juga meningkatkan biaya bahan bakar jet tradisional. Berdasarkan perhitungan IATA, biaya yang produsen SAF kenakan jauh melebihi biaya aktual persediaan bahan bakar berkelanjutan yang terbatas.
"Uni Eropa pada dasarnya telah memfasilitasi pemasok monopoli untuk menaikkan harga tanpa manfaat lingkungan," ujar Walsh. Karena itu, IATA menilai Uni Eropa perlu mengevaluasi kembali target SAF-nya.
Di bawah persyaratan ReFuelEU Aviation, maskapai penerbangan harus memiliki campuran SAF 6% dalam penggunaan bahan bakar jet mereka pada tahun 2030. Menurut laporan Reuters pada Juni lalu, Uni Eropa menawarkan beberapa subsidi untuk pembelian SAF oleh maskapai penerbangan.
Di bidang pasokan, setidaknya lima proyek SAF di Asia (di luar Cina) telah dimulai atau sedang berlangsung. Proyek tersebut ditujukan untuk memulai produksi tahun ini, menargetkan ekspor secara regional dan ke Eropa. Singapura adalah salah satu eksportir utama bahan bakar hijau ke Uni Eropa.
Walsh juga mempertanyakan penggunaan minyak sawit sebagai sarana untuk menghasilkan bahan bakar yang berkelanjutan.
"Saya pikir Anda bisa berpendapat ada minyak sawit berkelanjutan dan ada minyak sawit yang tidak akan dianggap berkelanjutan, dan saya pikir di beberapa bagian dunia ada terlalu banyak hitam dan putih," kata Walsh.
Ia mengatakan perlu ada pendekatan bernuansa yang jauh lebih komprehensif terhadap penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku dan penilaian yang jauh lebih rinci tentang keberlanjutan bahan baku SAF.