Permintaan Energi Surya Diprediksi Melonjak Usai Peluncuran RUPTL PLN 2025-2034

Mela Syaharani
28 Mei 2025, 10:55
Teknisi memeriksa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di Gedung Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/4/2025). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memberikan izin pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga S
ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adh
Teknisi memeriksa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di Gedung Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/4/2025). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memberikan izin pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLST) atap kepada PT PLN (Persero), proyek pembangunannya memiliki kuota dengan kapasitas hingga 5.746 megawatt (MW) dalam kurun waktu 2024-2028.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) sekaligus Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa, mengatakan permintaan industri surya photovoltaic (PV) diperkirakan bertambah usai dikeluarkannya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034. Pasalnya, energi surya mendapat porsi yang cukup besar dalam RUPTL tersebut.

Dalam RUPTL ditargetkan penambahan pembangkit listrik naik menjadi 69,5 gigawatt (GW) hingga 2034. Komposisi dalam RUPTL terbagi menjadi 42,6 GW untuk pembangkit EBT (61%) dan 10,3 GW untuk storage (15%), serta pembangkit fosil 16,6 GW (24%). 

ESDM merincikan lebih lanjut, porsi pembangkit EBT ini terdiri atas beberapa jenis sumber energi. Mulai dari sumber energi surya 17,1 GW, air 11,7 GW, angin 7,2 GW, panas bumi 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW, dan nuklir 0,5 GW. 

“Saya kira ada sinyal permintaan dalam negeri akan cukup besar akan menarik investasi di rantai pasok industri PV dan industri pendukung PLTS lainnya,” kata Fabby saat dihubungi Katadata, Selasa (27/5).

Fabby mengatakan porsi tenaga surya dalam penambahan RUPTL menjadi bagian yang terbesar dari sumber EBT dikarenakan pembangunannya yang relatif memerlukan waktu lebih pendek dan harga listriknya lebih murah. Dengan potensi investasi tersebut, PLN harus bisa mengeksekusi rencana penambahan pembangkit sesuai target RUPTL.

“Bukan hanya untuk PLTS tapi juga untuk pembangkit EBT lainnya. Salah satu hambatan adalah kemampuan PLN melakukan lelang dan pengadaan pembangkit EBT,” ujarnya.

IESR mendorong pemerintah terus mengawasi implementasi dan mendukung PLN untuk memastikan tercapainya target pembangunan pembangkit energi terbarukan. Dukungan ini dalam bentuk penyesuaian kebijakan dan regulasi untuk akselerasi energi terbarukan, kebijakan tarif yang mendukung kelayakan proyek, penguatan kapasitas dan mekanisme pelelangan agar terjadwal dan transparan, dan kemampuan keuangan PLN untuk berinvestasi. 

Dengan demikian pembangunan pembangkit energi terbarukan dapat terealisasi sesuai periode waktu tersebut dan mencegah munculnya krisis listrik. Fabby mengatakan target pembangkit EBT dalam RUPTL lebih rendah dibandingkan komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 56 GW pada 2030.

Selain itu, target RUPTL juga tidak selaras dengan kebutuhan untuk membatasi kenaikan temperatur global 1,5 derajat  Celsius sesuai Persetujuan Paris yang memerlukan sektor kelistrikan mencapai puncak sebelum 2030.

Fabby juga menyoroti lemahnya kemampuan eksekusi RUPTL oleh PLN dan lemahnya pengawasan regulator. Ini terlihat dari realisasi pembangkit yang COD sampai semester pertama 2025 yang hanya 1,6 GW dari rencana 10 GW dalam RUPTL 2021-2030.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Mela Syaharani

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...