Perdagangan Karbon Sukarela Buka Peluang Pendanaan Iklim bagi RI


Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menilai perdagangan karbon sukarela (voluntary carbon market/VCM) membuka peluang strategis bagi Indonesia untuk mendapatkan pendanaan iklim. VCM juga dinilai dapat mempercepat aksi iklim.
"Terdapat potensi dan peluang yang dapat digali dari VCM, mulai dari pendanaan iklim, hingga inovasi dan pengembangan teknologi hijau," kata Direktur Tata Kelola Penerapan Nilai Ekonomi Karbon KLH Ignatius Wahyu Marjaka, dalam diskusi FOLU Talks Kementerian Kehutanan, yang digelar secara daring, Rabu (23/7).
Wahyu menyebut VCM membuka peluang penyediaan sumber pendanaan inovatif untuk proyek mitigasi dan adaptasi iklim. "Diversifikasi sumber pendapatan bagi pemilik lahan atau pengelola hutan, dapat menjadi sumber pendapatan baru dari menjaga dan merestorasi ekosistem," ujar Wahyu.
Ia menyebut VCM juga berpeluang mempercepat aksi iklim. VCM memungkinkan perusahaan dan individu mengkompensasi emisi mereka sehingga adopsi teknologi rendah karbon, praktik berkelanjutan, dan konservasi hutan bisa berjalan lebih cepat.
VCM juga akan mendorong pemberdayaan komunitas lokal dan masyarakat adat yang dapat memberikan manfaat ekonomi langsung dan hak pengelolaan lahan.
"VCM mampu meningkatkan citra keberlanjutan di mata konsumen, investor, dan pemangku kepentingan lainnya, serta membantu memenuhi target keberlanjutan internal bagi perusahaan," kata Wahyu.
Selanjutnya, VCM diyakini akan mendorong investasi dalam solusi inovatif untuk mengurangi emisi, menciptakan transfer teknologi, pelatihan, dan peningkatan kapasitas bagi negara yang menjadi tuan rumah perdagangan karbon.
Cermati Berbagai Risiko Perdagangan Karbon Sukarela
Wahyu mengatakan Indonesia memiliki potensi besar dari VCM. Meski demikian, Indonesia tetap harus berhati-hati dan mencermati berbagai risiko yang timbul dalam perdagangan karbon sukarela ini, termasuk integritas lingkungan, isu sosial, tata kelola, dan kualitas kredit karbon.
“Upaya jalan tengah dalam pengembangan VCM antara lain melalui peningkatan integritas dan kualitas kredit karbon, tata kelola yang kuat, kerangka regulasi dan kebijakan, serta pengembangan pasar,” ujar Wahyu.
Perwakilan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Andrew Sunarko mengatakan pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management atau SFM) perlu dioptimalkan bersama VCM.
“VCM dapat memberikan pendanaan dan akuntabilitas yang sangat dibutuhkan, tapi hanya jika pembuatan dan transaksi kredit karbon dibuat dengan cara yang dapat diinvestasikan dan disederhanakan,” ujar Andrew.
Menurutnya, SFM dapat membuka miliaran dolar pendanaan iklim, melindungi keanekaragaman hayati, dan mendukung mata pencaharian masyarakat di perdesaan jika diterapkan dengan tepat.