Selain Jakarta, Apakah Daerah Lain Siap Elektrifikasi Kendaraan Umum?


Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Agus Taufik Mulyono, mengatakan elektrifikasi kendaraan umum di wilayah-wilayah kecil masih belum efektif dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Menurutnya, kebijakan tersebut harus memperhatikan kondisi masyarakatnya.
“Kebijakan di Indonesia tidak efektif, karena tidak menyentuh peradabannya. Jadi, kendaraan listrik tentu paling tepat didorong oleh kondisi supply, dan prasarana yang stabil juga,” kata Agus, dalam peluncuran laporan Indonesia Sustainable Mobility Outlook 2025 di Jakarta, Senin (14/7).
Selain itu, Agus menyebut masih banyak daerah dengan kualitas udara terjaga, serta pertumbuhan penduduk stagnan yang belum membutuhkan kendaraan listrik secara mendesak.
Di sisi lain, Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), Haris Muhammadun, mendukung komitmen dan kerja sama pemerintah daerah untuk elektrifikasi kendaraan umum. Proses transisi menuju elektrifikasi ini tidak cukup dengan meminimalisasi mobilitas dengan pemenuhan kebutuhan dalam radar terpendek, namun butuh juga prinsip shifting, yaitu peralihan moda kendaraan.
Meskipun demikian, Haris juga menyebut salah satu tantangan dalam elektrifikasi kendaraan umum adalah biaya yang tidak sedikit.
“Jakarta tahun ini pengadaan 200 bus (listrik), tapi itu pun masih terasa mahal,” tutur Haris.
Kesulitan serupa juga dapat dirasakan oleh daerah lain, salah satunya Trans Metro Dewata di Bali yang hampir mati tanpa subsidi.
Peralihan ke Kendaraan Listrik Pribadi Juga Penuh Pertimbangan
Urban Planning and Inclusivity Manager Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, Deliani Poetriayu Siregar, mengatakan ada beberapa hal yang dipertimbangkan masyarakat sebelum beralih ke kendaraan listrik pribadi.
Dalam temuan ITDP pada 2021 lalu, merek terbukti cukup memengaruhi pilihan masyarakat untuk beralih ke transportasi ini. Penampilan kendaraan juga berpengaruh, contohnya tampilan sepeda motor listrik yang terlalu feminin kurang diminati.
Pertimbangan lainnya adalah akses isi ulang kendaraan, kapasitas tampung, risiko penggunaan, serta kemudahan perawatannya.
Di samping itu, Indonesia Director Clean Air Asia, Ririn Radiawati Kusuma, juga menggarisbawahi persoalan produksi baterai sebagai tenaga utama kendaraan listrik. Hal ini perlu diperhatikan, karena berkaitan dengan kebijakan.
"Kita juga harus berpikir untuk baterainya, manufakturnya, dan pengolahannya," tutur Ririn.