Transportasi Diusulkan Masuk Pelayanan Dasar dalam Undang-undang


Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta, Haris Muhammadun, menyampaikan perlunya aspek transportasi ke dalam pelayanan dasar yang diatur undang-undang. Hal tersebut akan membuat pemenuhan kebutuhan mobilitas masyarakat menjadi prioritas, termasuk soal anggaran.
“Bagaimana supaya mobilitas atau transportasi itu masuk dalam urusan wajib pelayanan dasar,” tutur Haris dalam diskusi panelis peluncuran laporan Indonesia Sustainable Mobility Outlook 2025 di Jakarta, Senin (14/7).
Menurut Haris, komitmen memasifkan transportasi publik harus sampai ke daerah-daerah. Dirinya menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah tidak menempatkan transportasi pada pelayanan dasar, padahal mobilitas juga termasuk hak asasi manusia.
Dalam regulasi tersebut, pelayanan dasar baru mencakup pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat, serta aspek sosial.
Haris mencontohkan salah satu kasusnya, dimana Trans Metro Dewata terancam berhenti beroperasi jika tanpa subsidi. Beberapa layanan transportasi umum di daerah lainnya juga dalam kondisi tidak stabil.
Transportasi publik dengan sumber daya listrik perlu dikembangkan secara masif mengingat sektor transportasi menjadi salah satu penghasil gas rumah kaca (GRK) terbesar di Indonesia.
Pada 2024, emisi dari sektor transportasi telah mencapai 202 juta ton atau sekitar 27% dari total emisi yang dihasilkan sektor energi. Jika tidak dikendalikan, sumbangan emisi tersebut dapat melonjak tiga kali lipat pada 2060 mendatang.
Hal tersebut kontra dengan cita-cita Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat.
Kebijakan Jadi Senjata Penting untuk Kurangi Emisi
Indonesia Officer Director Clean Air Asia, Ririn Radiawati Kusuma, mencontohkan pelaksanaan elektrifikasi kendaraan di Cina yang dilakukan secara top down dan totalitas dari segi anggaran.
“Jadi memang kalo untuk (menangani) polusi udara, mereka sudah jor-joran, top down, dan juga dari daerah. Mereka memang sudah banyak investasi,” tutur Ririn.
Akan tetapi, optimalitas tersebut juga didukung oleh pemanfaatan teknologi oleh masyarakatnya, hingga mampu memproduksi dan ekspansi produk ke luar negeri.
Sementara itu di Indonesia, kebijakan dalam rangka mengurangi emisi masih belum konsisten, salah satunya untuk kendaraan roda dua.
“Subsidi yang tahun lalu sudah ada, sekarang belum tau ujungnya seperti apa, belum tau akan dilanjutkan atau tidak. Padahal subsidi tahun lalu itu meningkatkan pembelian motor listrik sampai 400%,” jelas Ririn.
Analis Kebijakan Lingkungan Institute for Essential Services Reform (IESR) , Ilham Rizqian Surya, menjelaskan bahwa sebetulnya di Indonesia sudah banyak kebijakan terkait transportasi. Yang perlu diperhatikan adalah integrasi antara regulasi-regulasi tersebut.
Selain itu, Ilham juga menekankan pentingnya pemerataan. Penggunaan transportasi umum hingga lebih dari 90% belum tentu efektif, sebab setiap individu memiliki prioritas atau alasan-alasan dalam memilih moda transportasinya. Untuk itu, pemerintah perlu memberikan pemerataan sehingga masyarakat dapat memilih yang paling efisien untuk dirinya.