Mendag: Uni Eropa Bersedia Longgarkan UU Antideforestasi untuk Indonesia

Menteri Perdagangan Budi Santoso mengatakan Uni Eropa (UE) telah melunak dalam menerapkan Undang-Undang Antideforestasi UE (EUDR) terhadap Indonesia. Kesepakatan ini diraih menjelang penyelesaian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-UE (IEU-CEPA).
"Seiring dengan mendekatnya penyelesaian IEU-CEPA, kami mengamati posisi yang lebih fleksibel dari UE, termasuk terkait EUDR," kata Budi Santoso di Brussels, pada Sabtu (12/7), seperti dikutip Antara. Budi mengikuti kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ke Belgia, seperti diunggah di kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Minggu (13/7).
Ia mengatakan perubahan sikap Uni Eropa ini mencerminkan bahwa blok ekonomi tersebut bersedia untuk menjaling kemitraan jangka panjang dengan Indonesia.
Budi Santoso mengungkapkan, lamanya negosiasi IEU-CEPA berasal dari dinamika tawar-menawar yang kompleks, karena kedua belah pihak mengupayakan kesepakatan yang saling menguntungkan.
Menyusul kemajuan terkini, Budi menyebut Indonesia fokus untuk menyelesaikan IEU-CEPA sebagai kerangka kerja baru untuk perdagangan dan kerja sama bilateral.
"Semuanya sudah beres. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah mengonfirmasi bahwa proses negosiasi telah selesai. Substansi perjanjian telah difinalisasi," kata Budi seperti dikutip Antara, Minggu (13/7).
Ia menambahkan Presiden Prabowo Subianto diharapkan segera mengumumkan secara resmi penyelesaian perjanjian tersebut.
Dengan finalisasi IEU-CEPA, Indonesia akan mendapatkan akses yang lebih besar ke pasar Eropa dan peluang ekspor baru, katanya.
"Ini akan menjadi pasar alternatif bagi kita," ujarnya.
Budi mengatakan total impor Uni Eropa dari pasar global mencapai US$ 6,6 triliun, lebih besar dibandingkan dengan impor Amerika Serikat (AS) senilai US$ 3,3 triliun.
Indonesia Khawatirkan Dampak EUDR kepada Petani Kecil
Sebelumnya, Indonesia sedang menunggu tanggapan resmi dari Uni Eropa (UE) mengenai Undang-Undang Antideforestasi Uni Eropa (EU Deforestation Regulation/EUDR).
"Kami telah mengirimkan pertanyaan-pertanyaan kami secara tertulis. Mereka berjanji akan memberikan tanggapan tertulis," ujar Dida Gardera, Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, seperti dikutip Antara, pada Kamis (3/7).
Pernyataan ini menyusul dialog bilateral antara Indonesia dan Uni Eropa yang diadakan pada tanggal 4 Juni di Brussels, Belgia di mana kedua belah pihak mendiskusikan implikasi-implikasi dari EUDR.
Gardera mengatakan Indonesia meminta klarifikasi mengenai beberapa isu utama sebagai berikut:
1. Dasar hukum dan metodologi untuk klasifikasi risiko EUDR,
2. Pengakuan atas sistem legalitas nasional Indonesia,
3. Potensi ketidakkonsistenan dengan peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan
4. Beban administratif yang mungkin dibebankan oleh peraturan ini kepada petani kecil, terutama mengenai persyaratan geolokasi dan ketertelusuran digital.
Ia menekankan kekhawatiran-kekhawatiran ini sangat penting, karena peraturan ini dapat secara langsung berdampak pada petani. Lebih dari 90% produsen kopi dan kakao di Indonesia adalah petani kecil.
Gardera juga mendesak Uni Eropa untuk mengakui pendekatan berbasis wanatani di Indonesia untuk budidaya kopi dan kakao.
Sebagai contoh, 23% dari perkebunan kopi milik Perhutani di Jawa terletak di dalam kawasan hutan dan dikelola dengan metode wanatani yang tidak merusak ekosistem hutan.
"Tidak mungkin bagi kami untuk menerapkan model EUDR yang memisahkan produksi dari hutan. Untuk kopi dan kakao, pendekatan tersebut tidak akan berhasil - mungkin untuk kelapa sawit, tetapi tidak untuk tanaman-tanaman tersebut," katanya.
EUDR mengharuskan perusahaan untuk memastikan produk yang dijual di Uni Eropa bebas dari deforestasi. Ini berarti produk tersebut tidak diproduksi di hutan yang telah digunduli atau berkontribusi terhadap degradasi hutan.