TikTok Tolak Platform Digital Diatur dalam RUU Penyiaran, Ungkap 3 Perbedaan

Kamila Meilina
15 Juli 2025, 19:17
Tiktok
ANTARA FOTO/Abdan Syakura/foc.
Warga menggunakan aplikasi media sosial TikTok di Kota Cimahi, Jawa Barat, Jumat (31/1/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

TikTok Indonesia menolak rencana adanya pengaturan untuk platform digital dalam Rancangan Revisi Undang-Undang Penyiaran yang tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat. Tiktok berpendapat  RUU Penyiaran tidak semestinya menyamakan regulasi terhadap platform berbasis konten buatan pengguna (user-generated content/UGC) seperti TikTok dengan lembaga penyiaran tradisional.

Pendapat tersebut disampaikan manajemen TikTok dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja DPR RI Komisi I dengan Platform Google & YouTube, TikTok, serta META. Rapat digelar untuk menjaring masukan dari platform tersebut terkait dengan RUU Penyiaran. 

Head of Public Policy TikTok Indonesia, Hilmi Adrianto, menilai platform berbasis user-generated content (UGC) seperti TikTok memiliki karakteristik yang sangat berbeda dibandingkan dengan lembaga penyiaran tradisional maupun layanan over-the-top(OTT). Atas dasar itu ia menyebut platform digital tidak seharusnya berada pada kerangka regulasi yang sama.

 “Ini kami melihat perbedaan signifikan dengan lembaga penyiaran konvensional sendiri,” kata Hilmi dalam gelaran rapat tersebut, Selasa (15/7). 

Hilmi menyampaikan bahwa sebagai platform UGC, konten-konten di TikTok dibuat dan diunggah oleh para pengguna individu, bukan diproduksi oleh perusahaan atau platform itu sendiri. Hal ini berbeda dengan lembaga penyiaran tradisional dan OTT yang mengkurasi, memproduksi, dan mengendalikan kontennya secara langsung.

Menurut Hilmi terdapat tiga perbedaan utama antara platform UGC dan lembaga penyiaran. Dalam hal produksi, konten di TikTok sepenuhnya berasal dari kreator individu, sedangkan di penyiaran tradisional maupun OTT, konten dibuat dan disiarkan oleh entitas perusahaan. Dengan begitu pengendalian atas isi konten pada platform UGC tidak sama dengan sistem kurasi yang ketat di penyiaran konvensional.

Perbedaan kedua berkaitan dengan model bisnis. Hilmi menyebutkan model bisnis UGC seperti TikTok berpusat pada partisipasi aktif pengguna, yang memungkinkan siapapun untuk membuat dan menyebarkan konten. Sebaliknya, lembaga penyiaran beroperasi dengan model konsumsi pasif dengan hanya produsen konten profesional atau pemegang lisensi yang bisa menyiarkan konten kepada publik.

Perbedaan ketiga berkaitan dengan volume dan moderasi konten. Menurut Hilmi, volume konten di platform UGC sangat masif dan tidak terbatas, dengan unggahan terjadi setiap saat. 

TikTok menggunakan sistem moderasi berbasis teknologi dan tim manusia untuk mendeteksi dan menghapus konten yang melanggar. Sebaliknya, konten di penyiaran tradisional terjadwal, terkurasi, dan harus melalui proses edit serta persetujuan sebelum disiarkan.

Lebih lanjut, Hilmi merekomendasikan agar platform UGC tidak dimasukkan ke dalam lingkup RUU Penyiaran. Ia menyebutkan platform UGC seperti TikTok seharusnya tetap diatur di bawah kerangka moderasi konten yang saat ini berada di bawah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), bukan melalui regulasi penyiaran

Ia juga menjelaskan bahwa hal ini guna menghindari Pendekatan “One Size Fits All”, alias satu regulasi untuk berbagai jenis platform. Sebab, ia menilai penyiaran konvensional, OTT, dan UGC memiliki model bisnis, pola produksi konten, dan sistem pengawasan yang berbeda.

“Juga untuk mencegah Ketidakpastian Hukum, yang bisa muncul jika kerangka regulasi disamaratakan tanpa mempertimbangkan perbedaan mendasar antar jenis platform,” kata Hilmi. 

Revisi UU Penyiaran 

Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini menjelaskan RUU Penyiaran menjadi kebutuhan mendesak serta perlu melalui proses legislasi yang memakan waktu cukup panjang. Atas hal ini, pengaturan penyiaran platform saat ini bisa dimasukan ke dalam satu regulasi yang sama terlebih dahulu, sebab masih menyasar substansi yang sama. 

“Kenapa kita menganggap ini bisa dilakukan bersama Undang-Undang Penyiaran, dengan konten, karena nanti bisa kita atur di PP (Peraturan Pemerintah), di Permen (Peraturan Menteri), atau secara rigid mekanismenya,” kata Amelia dalam kesempatan yang sama.

RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi salah satu RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas yang diusulkan Komisi I DPR RI.  

Adapun RUU Penyiaran yang tengah dibahas oleh DPR mencakup konten digital seperti di YouTube, TikTok, Instagram, Netflix hingga Disney+ Hotstar. Salah satu yang diatur, pembuat konten, YouTuber hingga TikToker wajib melakukan verifikasi konten ke Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI.




Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Kamila Meilina

Inisiatif pembangunan rendah karbon dilakukan pada bidang-bidang prioritas, terutama dalam hal tata guna lahan hutan dan gambut.

Di sejumlah daerah, berbagai inisiatif kolaborasi telah dijalankan dan menunjukkan bahwa kelestarian lingkungan bisa dicapai dengan tetap memperhatikan kesejahteraan warga.

Laporan lengkap dapat diunduh melalui tautan ini

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...