KKP Minta Akurasi Data Klasifikasi Kebutuhan Garam Industri
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meminta pendataan yang akurat terkait klasifikasi kebutuhan garam industri. Alasannya, pendataan yang akurat dibutuhkan untuk mengkalkulasi kebutuhan garam impor dengan tepat. Sehingga, produksi garam lokal bisa dimanfaatkan secara optimal.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti menyatakan produksi garam nasional terus meningkat dalam 3 tahun terakhir. Pada 2016, produksi garam hanya 168.054 ton karena el nino berkepanjangan.
Namun pada 2017, produksi meningkat menjadi jauh lebih baik menjadi 1,11 juta ton. Faktor cuaca yang bagus pada 2018 menjadikan hasil produksi garam dalam negeri naik melampaui target yang ditetapkan semula sebesar 1,5 juta ton yakni menjadi 2,71 juta ton.
(Baca: Impor Tinggi, Asosiasi Petani Garam Khawatir Harga di Petambak Jatuh)
Selain kondisi cuaca, program pemberdayaan usaha garam juga diharapkan mampu meningkatkan produksi garam . "Program pemberdayaan usaha garam rakyat bertujuan untuk meningkatkan produksi garam, banyak petambak yang meningkat pendapatannya karena pengelolaan lebih baik," kata Brahmantya di Jakarta, Jumat (1/3).
Sayangnya, peningkatan produksi garam nasional tidak sejalan dengan kebutuhan industri. Ali-alih memenuhi kebutuhan garam industri, Rapat Koordinasi Terbatas di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tetap mengalokasikan kuota impor garam sebanyak 2,7 juta ton pada 2019.
Brahmantya mengaku, rekomendasi dari KKP yang telah diambil alih oleh Kementerian Perindustrian lewat Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 membuat KKP sulit bersuara lantang menentang impor. Sehingga, dia meminta adanya pendataan yang tepat supaya garam dalam negeri bisa terserap.
Hal ini diperkuat dengan, realisasi impor garam industri 2018 hanya mencapai 2,7 juta ton dari kuota sebesar 3,8 juta ton. "Klasifikasi industri (pengguna garam) harus lebih jelas, supaya hitungannya benar," ujar Brahmantya.
(Baca: Petani Minta Kuota Impor Garam Tahun Depan Dikurangi)
Masalahnya, berdasarkan perhitungan tim neraca garam nasional, masih tersedia sisa stok sisa 2018 sebanyak 1,39 juta ton. Surplus itu diperoleh berdasarkan selisih produksi dalam negeri dan impor garam industri dengan kebutuhan sebanyak 3,96 juta ton.
Brahmantya menyebutkan, Kementerian Perindustrian seharusnya mencatat lebih detail klasifikasi industri manufaktur yang bisa menggunakan garam rakyat. Contohnya, industri aneka pangan kualitas bawah, penyamakan kulit, serta industri pengasinan ikan perorangan.
Namun demikian, KKP tetap mengacu kepada kebutuhan industri manufaktur yang berhubungan dengan sustainibilitas produksi. Memang, garam industri hasil impor harganya lebih murah. Namun, pemerintah juga seharusnya mengkaji skema yang tepat untuk memaksimalkan penyerapan garam rakyat.
Karenanya, selain mendorong produksi, pemerintah juga melanjutkan program pembangunan Gudang Garam Nasional dengan penambahan enam unit gudang baru tahun ini. Hingga akhir 2018, KKP telah membangun 18 gudang di sejumlah sentra produksi garam. Gudang itu dibangun untuk menyimpan hasil produksi petambak garam dengan kapasitas penyimpanan sebesar 2.000 ton.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk mengungkapkan industri siap menggunakan garam lokal asalkan memenuhi syarat mutu, memiliki penawaran harga yang baik serta ada kontinuitas pasokan.
(Baca: Pemerintah Hitung Kebutuhan 2019, Ini Proyeksi Jumlah Impor Pangan)
Selain itu, dia pun sependapat tentang pentingnya akurasi data untuk ketersediaan pasokan garam nasional. Sebab, pelaku usaha menginginkan kepastian dalam berusaha tetapi panen garam rakyat masih belum tersistem dengan baik.
Kemudian, kualitas garam yang lebih kering untuk peningkatan efisiensi industri juga penting. "Program KKP tentang Gudang Garam Nasional itu penting sebagai solusi," kata Tony.