Beda Suara Internal DPR Soal Amerika Serikat Bisa Kelola Data WNI


Suara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terbelah mengenai kemungkinan transfer data warga negara Indonesia (WNI) sebagai bagian dari kesepakatan terkait tarif impor resiprokal dengan Amerika Serikat.
Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menilai transfer data warga negara Indonesia (WNI) merupakan hal yang wajar. Sedangkan, Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin meminta pemerintah berhati-hati soal pengelolaan data pribadi dengan pihak asing.
Misbakhun, menilai tidak ada masalah sepanjang data tersebut dipergunakan secara selektif untuk kepentingan perdagangan. Dia juga optimistis Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengetahui batasan privasi data warga yang harus dilindungi.
"Sepanjang dipergunakan secara selektif untuk kepentingan perdagangan. di mana harus diketahui para pihak yang sedang melakukan transaksi untuk diketahui datanya, itu adalah hal yang wajar dilakukan," kata Misbakhun dalam keterangannya, Senin (28/7).
Berdasarkan hal itu, Misbakhun berpandangan terkait transfer data WNI tak perlu dijadikan polemik karena menurutnya merupakan suatu hal yang wajar. "Untuk membangun kredibilitas dalam rangka membangun rasa saling percaya dalam aspek bisnis dalam transaksi pembayaran," kata politikus Partai Golkar itu.
Berbeda dengan Misbakhun, anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin, meminta pemerintah terbuka dan berhati-hati soal pengelolaan data. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menyatakan, publik berhak mengetahui bentuk pengelolaan data pribadi WNI yang dimaksud dalam kerja sama itu.
Ia mengatakan, menurut UUD 1945 pasal 28H ayat (4) dan oleh sebab itu ia menegaskan mengenai data pribadi tak boleh sembarangan.
TB Hasanuddin juga menyoroti ketentuan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang menyatakan bahwa transfer data pribadi ke luar negeri hanya dapat dilakukan apabila negara tujuan memiliki perlindungan hukum setara atau lebih tinggi dari Indonesia.
"UU PDP kita itu setara dengan aturan komprehensif GDPR Uni Eropa. AS belum memiliki aturan komprehensif serupa, ini tentunya berpotensi melanggar UU," kata TB Hasanuddin dalam keterangannya, Kamis (24/7).
Ia juga menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur lebih lanjut soal mekanisme transfer data ke luar negeri sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 56 ayat (3) UU PDP yang hingga kini belum diterbitkan. "Hingga saat ini PP yang dimaksud belum ada. Jadi seperti apa peraturan turunannya belum lengkap," kata dia.
Atas dasar itu, ia meminta pemerintah bertindak hati-hati dan tidak membuka akses data pribadi WN sebelum adanya kejelasan hukum dan perlindungan maksimal bagi warga negara.
Sebelumnya, Gedung Putih Amerika Serikat mengatakan Indonesia telah berkomitmen untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, layanan, dan investasi digital.
“Indonesia akan memberikan kepastian mengenai kemampuan untuk mentransfer data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat,” demikian dikutip dari laman resmi White House AS, Rabu (23/7).
Kesepakatan itu juga tercantum dalam Lembar Fakta bertajuk 'Amerika Serikat dan Indonesia Mencapai Kesepakatan Perdagangan Bersejarah' yang dirilis pada Rabu (23/7). Gedung Putih menyebut bahwa pengelolaan data pribadi dilakukan karena AS dinilai telah memiliki perlindungan data pribadi yang memadai.
Washington diklaim telah melakukan berbagai reformasi di sektor perlindungan data melalui perusahaan-perusahaan teknologinya dalam beberapa tahun terakhir. “Perusahaan-perusahaan AS telah mengupayakan reformasi ini selama bertahun-tahun,” tulis Gedung Putih.
Poin pengelolaan data pribadi ini merupakan bagian dari kesepakatan dagang yang juga mencakup penetapan tarif resiprokal dari 32% menjadi 19% untuk sejumlah komoditas Indonesia di pasar AS.