penulis jumlah 1 konten anggaran

Image title
3 Agustus 2021, 11:06
penulis jumlah 1 konten anggaran
Katadata
penulis jumlah 1 konten anggaran
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Ada keterlibatan dua orang Indonesia dalam pembuatan vaksin virus corona Oxford/AstraZeneca. Mereka adalah Indra Rudiansyah dan Carina Citra Dewi Joe.

Indra merupakan kandidat doktor alias PhD dan peneliti Jenner Institute di Universitas Oxford, Inggris. Sedangkan Carina adalah peneliti pengembangan vaksin pada lembaga dan unversitas yang sama.

Ribuan orang sebenarnya terlibat dalam pembuatan vaksin AstraZeneca, terutama pada saat uji klinis satu hingga tiga. "Memang timnya banyak sekali di Universitas Oxford, sampai ratusan tim bekerja di klinik," kata Indra saat wawancara khusus dengan Katadata.co.id, Jumat (30/7).

Selain uji klinis, para peneliti pun dihadapkan pada proses manufaktur yang tak kalah rumit. Teknologi vaksin AstraZeneca, yaitu vektor viral atau viral vector, belum pernah diproduksi massal sebelumnya. Semua mereka kerjakan dengan waktu yang terbilang singkat karena pandemi corona telah menginfeksi jutaan manusia. 

Selama satu jam, mereka berbagi kisah saat mengembangkan vaksin Covid-19 tersebut. Seperti apa ceritanya? Simak hasil wawancaranya berikut ini.

Bagaimana awal keterlibatan Anda dalam pengembangan vaksin Oxford/AstraZeneca?

Indra: Saya mendaftar untuk bisa ikut membantu uji klinis vaksin Oxford. Kemudian, saya membantu di bagian evaluasi antibodi respon di para volunter. Tapi sebenarnya penelitian utama saya adalah vaksin malaria. 

Berarti switch atau pindah ke pengembangan vaksin Covid-19?

Indra: Sebenarnya saya tidak switch. Saya tetap melanjutkan pendidikan PhD di vaksin malaria. Saat pandemi memang semua fasilitas ditutup. Jadi, semua mahasiswa PhD, semua postdoctoral, pegawai yang mengerjakan proyek lain, tidak bisa kerja di laboratorium.

Fasilitas yang dibuka untuk program-program prioritas, seperti pengembangan vaksin Covid-19. Pada saat uji klinis, mereka butuh banyak sumber daya manusia. Kalau tidak salah itu Maret (2020), tim (Oxford) mulai merekrut banyak sekali, termasuk mahasiswa seperti saya. 

Jadi sebenarnya banyak sekali mahasiswa yang terlibat uji klinis vaksin AstraZeneca. Pada saat lockdown, Maret sampai September, saya selama enam bulan membantu uji klinis vaksin tersebut di laboratorium. Ketika Agustus restriksi mulai dilonggarkan, saya pelan-pelan kembali ke vaksin malaria.

Ada berapa orang di tim Mas Indra?

Indra: Cukup banyak karena clinical trial harus dikerjakan secara cepat. Jumlah volunteer-nya banyak, sampai puluhan ribu. Jadi, memang timnya banyak sekali di Universitas Oxford, sampai ratusan tim bekerja di klinik. Belum lagi clinical trial untuk multi side dan multi countries. Ada di Brasil, Inggris, dan Afrika Selatan. 

Mbak Carina, bagaimana awal cerita keterlibatan dalam pengembangan vaksin Oxford/AstraZeneca? 

Carina: Saya awalnya direkrut untuk proses manufaktur vaksin rabies. Saya bergabung beberapa bulan sebelum pandemi, akhir 2019. Ketika ada pandemi, mereka memutuskan membuat vaksin Covid-19 karena prioritasnya tinggi dan dibutuhkan secepatnya. Jadi, proyek saya diganti menjadi vaksin Covid-19. 

Berarti Anda turut mengembangkan di manufakturnya? 

Carina: Ya, untuk proses memproduksi vaksin secara massal. Kalau cuma punya satu vaksin tidak efektif, tidak ada gunanya karena tidak banyak orang yang pakai. Vaksin berguna kalau banyak orang pakai, namanya herd immunity (kekebalan kelompok). 

Manufacturing menjadi penting supaya orang yang mendapatkan vaksin bukan hanya di Inggris, tapi negara berpendapat rendah juga bisa mendapatkannya. Proses manufakturnya lumayan panjang. Ada hulu dan hilir. 

Singkatnya, kami pakai  human cell (sel manusia) untuk memproduksi virus-virus di dalamnya. Skalanya beda-beda. Ada laboratorium dengan skala 10 sampai 15 liter. Ada yang skala besar, 200 liter, seribu liter, 2 ribu liter, dan 4 ribu liter. Setelah mendapatkan virus yang cukup di dalam sel itu, baru kami panen. Virusnya harus dikeluarkan dari sel, dipisahkan, dan dimurnikan. 

Ada berapa negara yang melakukan proses manufaktur vaksin tersebut?

Carina: Kami melakukannya di 23 laboratorium di seluruh dunia. Sekitar 12 negara.

Ada kemungkinan pengembangan ke negara lain, selain 12 negara tersebut, misalnya Indonesia?

Carina: Ada, ada. Sepertinya ada pembicaraan. Tapi harus ada proposal dan prosedurnya. 

Indra: Ada prosedur harus dilewati karena transfer teknologi bukan proses yang mudah. 

Carina: Prosesnya bukan seperti bikin kue. Ada spesifikasi untuk laboratorium dan fasilitasnya. Kedua, skill (keahlian) yang khusus. Karena pandemi, kami sebenarnya tidak punya banyak waktu. Dalam 1,5 bulan sudah harus ada manufaktur vaksinnya dalam skala besar, 200 liter. Padahal, proses tersebut belum pernah terjadi sebelumnya.

Pengembangan skala besar itu supaya ada transfer ke konsorsium yang bergabung. Jadi, waktunya cukup mepet. Dan di genre ini belum banyak skill untuk manufaktur. Kalau tim uji klinis dapat merekrut orang-orang yang mengerjakan proyek vaksin lain, untuk proyek saya agak sulit.

Di awal-awal, saya mengerjakan sendiri. Sedangkan waktunya tidak banyak. Jadi, walaupun saya rekrut dari mahasiswa postdoctoral, mereka pun perlu pelatihan yang benar. Mereka tetap menerima instruksi dari saya. 

Sebagian publik hanya tahu untuk membuat vaksin membutuhkan waktu cukup lama. Saat pandemi Covid-19 terjadi ternyata dapat dikerjakan tidak sampai setahun?

Carina: Ada konsep yang salah dipahami. Teknologi vaksin (viral vector atau vektor viral) ini sudah ada bertahun-tahun. Sejak dua ribu berapa, Ndra?

Indra: Kalau dari adenovirus itu sejak 1990-an. Tapi untuk ChAdOx (vaksin adenovirus vektor simpanse) dari 2013 kayaknya ya.

Carina: Jadi teknologi dasarnya sudah dikembangkan bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun. Platform-nya kayak plug and play jadi bisa dimodifikasi dengan cepat. Teknologinya sudah ada dan sudah dites dengan patogen yang lain dan kami yakin ini aman dan efektif.

Sebenarnya apa keistimewaan AstraZeneca dengan teknologi tersebut dan yang membedakan dengan vaksin lain?

Indra: Yang menggunakan teknologi ini bukan hanya AstraZeneca, tapi juga Johnson & Johnson dan CanSino Biologic. Mereka sama-sama menggunakan adenovirus vektor. 

Kalau keistimewaan dari Oxford, kami menggunakan adenovirus yang berasal dari simpanse. Kenapa? Kebanyakan manusia saat ini sudah memiliki antibodi yang dapat menetralisasi vektor tersebut sehingga vaksinnya kurang efektif. Karena itu, memakai adenovirus dari simpanse. 

Tantangan pengembangannya?

Indra: Mungkin karena adenovirus itu belum pernah digunakan secara massal, jadi data produksinya sangat sedikit. Ini tantangan untuk Carina bagaimana untuk memproduksi skala besar adenovirus ini. 

Belum pernah sebelumnya ada vaksin diproduksi secara massal menggunakan teknologi adenovirus ini. Data-data produksinya masih sangat terbatas. 

Terkait efikasi vaksin, dengan banyaknya varian baru Covid-19, banyak orang bertanya seberapa efektif vaksin terhadap varian baru tersebut?

Indra: Ya betul memang munculnya varian-varian baru menjadi concern kami. Banyak studi di laboratorium untuk melihat apakah antibodi yang dihasilkan mampu menetralisasi atau tidak. 

Sejauh ini varian-varian tersebut masih bisa dinetralisasi meskipun ada semacam kompensasi atau penurunan di beberapa varian. Tapi semuanya, secara umum, masih memiliki kapasitas untuk menetralisir virusnya. 

Jadi, bakal ada pengembangan untuk vaksinnya?

Carina: Ada perbedaan dari efikasi yang berasal dari plasebo atau yang sudah divaksinasi dengan real world data. Data yang sekarang, vaksin ini mencegah penyakit yang parah dan kematian. Dari data-data di Inggris dan Kanada, tetap menyatakan vaksin yang efektif. Angkanya cukup melindungi masyarakat. Mereka (perusahaan) belum menyarankan pakai booster karena melihat vaksin ini masih efektif. 

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...