Sri Mulyani Kaji Dampak Pembatalan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Dimas Jarot Bayu
9 Maret 2020, 18:12
bpjs kesehatan, sri mulyani, kenaikan iuran bpjs kesehatan, kenaikan iuran bpjs kesehatan
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut putusan MA terkait pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga dapat berdampak pada pelayanan jasa kesehatan yang diberikan.
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Mahkamah Agung memutuskan untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Menteri Keuangan Sri Mulyani akan mengkaji implikasinya terhadap keuangan lembaga asuransi negara itu. 

“Ini kan keputusan yang memang harus dilihat lagi implikasinya kepada BPJS,” kata Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (9/3).

Ia menjelaskan pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan iuran untuk memperbaiki defisit keuangan BPJS Kesehatan.

Saat ini, keuangan BPJS Kesehatan masih rugi hingga Rp 15,5 triliun meski pemerintah telah menyuntikkan dana sebesar Rp 13,5 triliun akhir tahun lalu. Adapun dana tersebut merupakan pembayaran selisih kenaikan iuran peserta penerima bantuan iuran dan pegawai pemerintah. 

“Kalau dia secara keuangan akan terpengaruh, ya nanti kami lihat bagaimana BPJS Kesehatan akan bisa sustained,” kata Sri Mulyani.

(Baca: MA Resmi Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan)

Putusan MA juga dapat berdampak pada pelayanan jasa kesehatan yang diberikan. Sebab kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebelumnya dibarengi dengan peningkatan pelayanan.

Peningkatan pelayanan itu dilakukan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) maupun Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) atau rumah sakit. “Jadi kalau sekarang dengan hal ini adalah suatu realita yang harus kami lihat. Nanti kami review,” kata Sri Mulyani

MA memutuskan menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia pada Kamis (27/2). Melalui keputusan tersebut, MA juga membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

"Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden  Nomor 75 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Kesehatan, Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan bertentangan dengan beberapa ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi," tulis MA dalam surat keputusan yang diterima Katadata.co.id, Senin (9/3).

MA beranggapan kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28 H, dan Pasal 34 UUD 1945. Kebijakan tersebut juga dinilai bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4 huruf b,c,d dan e, serta Pasal 17 ayat 3 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

(Baca: BPJS Kesehatan Masih Defisit Rp 15,5 T, Berutang di Ribuan Faskes)

Kemudian Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres itu juga bertentangan dengan Pasal 2, 3, 4 huruf b,c,d, dan e UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS; Pasal 4, Pasal 5 ayat 2, dan Pasal 171 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Dengan demikian, MA menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 tahun 2019 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sebelumnya, pemerintah menetapkan kenaikan iuran pada hampir seluruh peserta BPJS Kesehatan. Kenaikan iuran peserta mandiri bahkan mencapai hingga dua kali lipat. 

Secara perinci, peserta mandiri kelas 1 ditetapkan naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu, kelas 2 naik dari Rp 55 ribu menjadi Rp 110 ribu, dan kelas 3 naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu. Besaran iuran tersebut sesuai dengan usulan yang sebelumnya disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani seperti tergambar dalam databoks di bawah ini.

Reporter: Dimas Jarot Bayu
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...