Wamenlu Havas Ungkap Kebijakan Anti Deforestasi UE akan Makin Diskriminatif

Andi M. Arief
4 Agustus 2025, 15:57
Ilustrasi deforestasi
Pexels
Ilustrasi deforestasi

Wakil Menteri Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno, menilai implementasi Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa atau EUDR akan semakin diskriminatif. Sebab, sebagian negara anggota Uni Eropa mengajukan pengecualian terhadap beberapa produk pertanian.

Havas mengatakan pengecualian tersebut setidaknya diajukan oleh dua negara, yakni Luxembourg dan Austria. Usulan tersebut kini masuk dalam EUDR dan tertuang dalam kategori komoditas kelompok risiko yang dapat diabaikan.

"Pertama, produk minyak nabati asal Eropa tidak ada di EUDR, kemudian sekarang ada upaya baru dengan terminologi baru Negligible Risk yang mengatakan produk pertanian di Eropa tidak beresiko. Jadi dia enak banget bikin aturan untuk seluruh dunia kecuali petani di Eropa," kata Havas di Menara Kadin, Senin (4/8).

Untuk diketahui, Uni Eropa telah menyetujui kategori Negligible Risk dalam EUDR pada akhir Juni 2025. Dengan demikian, kini ada empat kelompok risiko dalam EUDR, yakni risiko rendah, risiko standar, risiko tinggi, dan tanpa resiko.

EUDR akan mengenakan produk-produk sesuai dengan risiko deforestasi. Produk beresiko tinggi mendapatkan bea tambahan sebanyak 8%, risiko sedang 6%, dan risiko rendah 4%.

Havas menemukan Uni Eropa masih belum dapat menjawab pertanyaan teknis para anggotanya terkait implementasi EUDR. Havas mengimbau pemangku kepentingan untuk terus mengikuti perkembangan perubahan EUDR hingga berlaku pada tahun depan.

Untuk diketahui, implementasi EUDR akan menghambat ekspor tujuh komoditas lokal ke Eropa, yakni kakao, kopi, CPO, kopi, dan kayu. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mendata kebijakan tersebut dapat menggerus nilai perdagangan ke Benua Biru hingga US$ 7 miliar.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag , Djatmiko B. Witjaksono, menyampaikan Uni Eropa telah berkomitmen untuk menyerap minyak sawit mentah atau CPO Indonesia. Hal tersebut termuat dalam Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa atau IEU-CEPA.

Djatmiko mengatakan IEU-CEPA menuliskan bahwa Uni Eropa mengakui CPO asal Indonesia telah memenuhi aspek keberlanjutan. Pernyataan tersebut tertuang dalam protokol khusus dalam IEU-CEPA.

"Protokol khusus mengenai CPO belum pernah ada lama perjanjian CEPA manapun. Maksudnya, protokol tersebut akan menguntungkan semua pihak dalam IEU-CEPA," katanya.

Djatmiko menyampaikan Uni Eropa telah mengakui bahwa CPO lokal berkelanjutan untuk produksi makanan dan energi. Walau demikian, Djatmiko mengingatkan ekspor CPO ke Eropa nantinya harus memenuhi beberapa aturan keberlanjutan, seperti ketelusuran dan sertifikasi keberlanjutan.

Untuk diketahui, Uni Eropa dan Indonesia masih memiliki beberapa sengketa terkait CPO di Organisasi Dagang Dunia, yaitu sengketa terkait biodiesel dan fatty acid. Djatmiko menilai masuknya protokol khusus CPO dalam IEU-CEPA disebabkan oleh berubahnya konteks politik Uni Eropa.

Reporter: Andi M. Arief
Video Pilihan
Loading...

Artikel Terkait