Pemerintah Ungkap Penyebab PMI Manufaktur Juni 2025 Turun ke Level Kontraksi


Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza mengatakan penurunan Purchasing Manager's Index Indonesia pada Juni 2025 disebabkan kondisi geopolitik yang memanas antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat. PMI Indonesia pada Juni 2025 menjadi ketiga terendah sejak 2021.
Menurutnya, kepastian pasokan bahan baku ke dalam negeri berkurang pada bulan lalu. Ditambah, Iran berencana melakukan penutupan Selat Hormuz akibat tingginya tensi perang tersebut.
"Jadi, mungkin beberapa industriawan mempertimbangkan untuk mengurangi produksi kalau situasi pasar sulit. Itu pasti menjadi salah satu pertimbangan PMI Indonesia turun bulan lalu," kata Faisol di kantornya, Selasa (1/7).
Seperti diketahui, 20% dari volume perdagangan minyak mentah global melalui Selat Hormuz. Alhasil, penutupan perairan tersebut berpotensi mendongkrak harga energi global yang mendorong peningkatan biaya logistik dan bahan baku di dalam negeri.
Untuk itu, lanjutnya, pemerintah membuka peluang untuk intervensi peningkatan daya beli masyarakat. Selain itu, pemerintah juga akan meningkatkan intensitas koordinasi antar kementerian untuk menjaga iklim investasi sektor manufaktur dalam waktu dekat. Sebab, beberapa pabrik mengalami penutupan lantaran dinilai tidak memenuhi aturan lingkungan.
"Kami perlu kerja sama lebih intens untuk bisa memahami betul apa yang terjadi pada sektor manufaktur saat ini. Kalau Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengundang untuk membahas lebih lanjut kondisi PMI saat ini, kami akan sampaikan usulan intervensi daya beli," ujarnya.
Sektor Manufaktur Perlu Intervensi Pemerintah
Standard & Poor's Global melaporkan PMI Indonesia melanjutkan tren kontraksi di level 46,9 pada bulan lalu. Alhasil PMI Indonesia bulan lalu menduduki peringkat ketiga dari bawah sejak Agustus 2021 di posisi 43,7. Adapun, peringkat PMI Indonesia menduduki level 46,7 pada April 2025.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Shinta W Kamdani mengatakan saat ini sektor manufaktur tengah membutuhkan dukungan konkret dari pemerintah.Menurutnya, penurunan PMI selama tiga bulan berturut-turut menjadi sinyal serius bahwa industri sedang menghadapi tantangan berat, termasuk lemahnya permintaan dan naiknya biaya produksi.
"Kami memandang pemerintah perlu melakukan percepatan stimulus daya beli, insentif produksi, dan perbaikan ekosistem logistik dan energi agar industri bisa menjaga kelangsungan produksi," kata Shinta.
Shinta menegaskan tren penurunan PMI sejak April menunjukkan pelaku industri mulai melakukan efisiensi dan pengetatan produksi akibat sepinya permintaan baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini juga mengikis optimisme industri untuk melakukan ekspansi dalam waktu dekat.
Salah satu penyebab penurunan produksi adalah kenaikan biaya input, terutama bahan baku dan energi. Meski demikian, penyesuaian harga jual dinilai masih terbatas karena tekanan dari daya beli konsumen yang lemah.
Untuk itu, Shinta mengapresiasi langkah pemerintah yang merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Untuk diketahui, beleid tersebut kini telah diganti dengan penerbitan sembilan aturan baru terkait kebijakan dan pengaturan impor.
Shinta menilai amandemen Permendag Nomor 8 Tahun 2024 memiliki momentum yang tepat. Sebab, langkah tersebut menunjukkan pemerintah serius dalam merespon masukan dan aspirasi dunia usaha.
"Termasuk aspirasi industri padat karya yang kini menghadapi tantangan besar akibat melemahnya daya beli global dan tekanan biaya produksi," katanya.