Garam Lokal Tak Terserap Pasar, PT Garam Usul Perubahan Kebijakan
Jumlah serapan garam dalam negeri hingga kini jumlahnya masih sedikit. Direktur Utama PT Garam Budi Sasongko mengusulkan sejumlah langkah untuk meningkatkan penyerapan garam domestik serta mendukung petani lokal.
Menurutnya, kualitas garam lokal saat ini masih jauh dibandingkan garam impor. "Perlu ada usulan kepada pemerintah untuk menyelesaikan isu pergaraman nasional," kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR di Jakarta, Rabu (5/2).
Menurutnya, perlu ada perlindungan Undang-Undang (UU) 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
(Baca: Dua Kementerian Saling Tuding Masalah Sisa Kuota Impor Garam)
Sebab, aturan turunan UU tersebut dinilai tidak berpihak kepada petambak atau pembudidaya lokal, seperti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 52 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Garam.
Dalam Permendag ada kewajiban penyerapan garam lokal hanya berlaku bagi industri makanan dan minuman. Semestinya, kewajiban tersebut juga diterapkan oleh industri murni, seperti industri perikanan, Chlor Alkali Plant (CAP), water treatment, dan lainnya.
Industri CAP menurutnya memiliki kebutuhan garam sebesar 2,1-2,2 juta ton, dapat menyerap stok garam lokal sebesar 10% dari total kebutuhannya.
Bila kewajiban penggunaan garam lokal diterapkan ke seluruh industri, maka dia memperkirakan stok garam lokal dapat terserap seluruhnya. Adapun, Budi mengatakan setiap akhir musim (31/12), rata-rata garam lokal yang tak terserap bisa mencapai 1,2-1,8 juta ton.
(Baca: Kemendag Minta Jokowi Tetapkan Garam Jadi Bahan Pokok Penting )
Usulan kedua, dia meminta adanya penetapan harga dasar garam. Tanpa kebijakan tersebut, harga garam kasar lokal (K1) bisa jatuh hingga Rp 350 per kg.
Selanjutnya, dia juga menyebutkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 88/M-IND/PER/10/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perindustrian No.134/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Garam perlu diperbaiki. Sebab, aturan klaster garam tersebut menyebabkan garam lokal ditolak oleh pelaku industri lantaran kualitasnya dianggap tidak sesuai dengan kualifikasi.
Sebagaimana diketahui, aturan tersebut mengelompokkan kebutuhan garam berdasarkan garam konsumsi dan garam industri. Garam industri terbagi menjadi industri kimia, aneka pangan, farmasi, perminyakan, penyamakan kulit, dan water treatment.
Masing-masing industri tersebut memiliki ketentuan garam yang berbeda-beda. Kebutuhan garam setiap industri ditentukan berdasarkan yodium, standar, kadar natrium klorida (NaCl), kadar air, kalsium, magnesium, dan lainnya.
(Baca: Indonesia Impor Garam 2,2 Juta Ton, Puluhan Perusahaan Kantongi Izin)
Padahal, lanjut dia, garam yang diproduksi oleh PT Garam bisa digunakan untuk industri makanan dan minuman. "Tapi aturan tersebut menyebabkan keharusan standar yang berbeda-beda," ujar dia.
Sebagai informasi, banyak industri tidak bisa menggunakan pasokan garam lokal. Sebab, kualitas garam lokal belum sesuai dengan yang diperlukan industri, salah satunya yang memiliki kadar NaCl 95-98%. Sementara, kadar NaCl garam dari petambak masih di bawah 94%.