Jumlah penduduk miskin Angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan tren penurunan sejak pandemi Covid-19. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan sebesar 8,47% atau 23,85 juta penduduk pada Maret 2025. Angka ini bahkan terendah dibandingkan sebelum pandemi terjadi.
“Kepala BPS lapor ke saya angka pengangguran menurun, angka kemiskinan absolut menurun. Ini BPS yang bicara,” kata Presiden Prabowo Subianto saat penutupan kongres Partai Solidaritas Indonesia di Solo, Minggu, 20 Juli.
Penurunan angka kemiskinan ini sempat memunculkan kritik dari masyarakat. Persoalannya, penurunan tersebut terjadi di tengah fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Jika melihat data yang disajikan BPS, penurunan angka kemiskinan didorong oleh berkurangnya jumlah penduduk miskin di perdesaan. Dibandingkan saat pandemi, jumlah penduduk miskin di perdesaan turun 17,54% dari 15,26 juta pada Maret 2020 menjadi 12,58 juta orang pada Maret 2025.
Sebaliknya, penduduk miskin di wilayah perkotaan justru mengalami kenaikan sebesar 1% dari 11,16 juta orang pada Maret 2020 menjadi 12,58 juta orang pada Maret 2025.
Masih tingginya angka kemiskinan di perkotaan disebabkan sejumlah faktor. BPS mencontohkan, lambatnya penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT) dibandingkan perdesaan. Mayoritas penduduk desa bekerja di sektor agrikultur. Sedangkan penduduk kota lebih bergantung pada sektor manufaktur dan perdagangan.
Sejak pandemi, baik sektor manufaktur maupun perdagangan belum sepenuhnya pulih kembali seperti kondisi sebelum pandemi. Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak awal tahun 2025 juga disumbang utamanya dari sektor manufaktur.
Akibatnya, banyak penduduk kota kesulitan masuk ke sektor pekerjaan formal dan bergantung pada sektor informal. Sebelum pandemi, pertumbuhan penyerapan pekerja informal masih 8%. Namun, pertumbuhannya meningkat menjadi 14,7% dari periode 2020 ke April 2025. Sebaliknya, pertumbuhan penyerapan pekerja formal malah menurun.
Kondisi ini diperparah dengan kenaikan biaya hidup di perkotaan yang lebih cepat dibandingkan perdesaan. Kenaikan pengeluaran bukan makanan penduduk kota misalnya, naik hampir dua kali lipat dari penduduk desa setelah pandemi.
Begitu pula dengan pengeluaran untuk makanan. Porsi pengeluaran makanan penduduk miskin desa cenderung stagnan, sedangkan pengeluaran makanan penduduk miskin kota melonjak dari 71,6% pada Maret 2019 menjadi 73,7% pada Maret 2025.
“Penduduk kota identik tergantung dengan harga pasar karena penduduk kota umumnya tidak memproduksi sendiri sehingga kenaikan harga akan terpengaruh dengan daya beli terutama rumah tangga miskin atau rentan miskin,” kata Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono pada Jumat, 25 Juli.