KATADATA - Empat megaproyek migas yang tersebar di Maluku, Selat Makassar, Kalimantan Timur, dan Papua tercatat sebagai investasi tertinggi dengan total US$ 43 miliar. Angka ini jauh melampaui investasi asing langsung (FDI) 2014 dengan nilai $ 28,5 miliar, yang meliputi 24 sektor.
Selain nilai yang tinggi, empat proyek tersebut bernilai strategis karena akan memperkuat ketahanan energi nasional. Bila sudah beroperasi pada 2025, proyek-proyek itu diperkirakan menyuplai sekitar 46,3 persen dari total pasokan gas nasional atau setara 3,448 juta standar kaki kubik perhari (mmscfd). Oleh sebab itu, sejak 2010, SKK migas selalu mengagendakan empat proyek ini agar masuk dalam proyek utama pengembangan gas nasional.
Namun, perjalanan investasi tersebut tak mudah. Proses yang berbelit membuat implementasi megaproyek terus tertunda. Akibatnya, produksi dipastikan meleset dari target dan nilai investasi makin membengkak. Misalnya, IDD Chevron di Selat Makassar yang semula dijadwal produksi pada 2016 mundur menjadi 2020. Investasi proyek ini naik dua kali lipat dari US$ 6,9 miliar (PoD 2008) menjadi US$ 12 miliar (PoD revisi 2014).
Hal yang sama juga terjadi pada proyek Masela di Maluku. Rencana operasi mundur dari 2018 menjadi 2024. Selain karena belum adanya pembeli serta lambatnya persetujuan proyek, keberadaan Masela selalu menjadi polemik. Kontraktor bahkan sempat menunda rencana investasi karena dana yang dikeluarkan dinilai tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh mengingat kontrak blok akan segera berakhir.