Memasuki September 2018, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus merosot. Penurunan tersebut disinyalir akan mengulang krisis finansial 1998 dan 2008 silam. Terlebih, situasi ekonomi global yang tidak stabil dinilai bakal berimbas ke Indonesia dan memunculkan kekhawatiran ambruknya ekonomi. Namun, fundamental ekonomi nasional menunjukkan sejumlah perbedaan.
(Baca: Perang Dagang hingga Krisis Argentina Menekan Rupiah Mendekati 14.900)
Beberapa indikator perekonomian saat ini menunjukkan performa aman, tapi perlu diwaspadai. Kondisi inflasi per Agustus 2018 terkendali di angka 3,2 persen, jauh di bawah inflasi saat krisis 1998 yang mencapai 82,4 persen maupun krisis 2008 sebesar 12,1 persen. Nilai depresiasi rupiah saat ini yang sebesar 9,3 persen juga masih di bawah kondisi 1998 yang mencapai 197 persen dan 2018 sebesar 35 persen. Demikian halnya suku bunga Bank Indonesia (BI), rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), cadangan devisa, maupun risiko investasi yang seluruhnya masih terkendali.
(Baca: Kurs Rupiah Tembus 14.200 per Dolar AS, Ini Tiga Penyebabnya)
Meski demikian, penurunan nilai rupiah saat ini memang dibarengi dengan pelemahan beberapa kinerja ekonomi. Tercatat, perekonomian Indonesia tumbuh lambat dan masih berada di bawah target. Kemudian defisit neraca transaksi tahun ini mencapai US$ -5,5 miliar, lebih besar dari kondisi saat gejolak ekonomi sebelumnya. Demikian halnya dengan rasio utang luar negeri terhadap PDB dan rasio cicilan utang luar negeri terhadap ekspor (DSR) yang terbilang mengkhawatirkan.
(Baca: Rupiah Melemah, tapi Bukan Terparah)
Di tengah isu ini, pemerintah mengimbau masyarakat agar tidak panik. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution pada Rabu (5/9) meyakini tekanan pada rupiah akan segera mereda. Ia juga menyatakan pemerintah tengah memaksimalkan sistem layanan perizinan usaha terintegrasi secara elektronik atau Online Single Submission. Kebijakan ini diharapkan mampu memperbaiki neraca perdagangan sekaligus menekan defisit transaksi berjalan hingga 2,7 persen.
(Baca : Menko Darmin "Pede" Bauran Kebijakan Ampuh Perkuat Rupiah)