Pemerintah memilih biodiesel sebagai energi alternatif prioritas. Bahan bakar nabati ini berpeluang menjadi energi transisi nasioal jika dikelola secara berkelanjutan. Hal ini dapat terjadi jika emisi dari alih fungsi lahan dan pabrik kelapa sawit diminimalisir.
Apabila biodiesel berkelanjutan diterapkan, manfaat yang didapatkan bukan hanya dari sisi ekonomi, namun juga lingkungan. Dari segi lingkungan, peralihan ke biodiesel akan memangkas penggunaan bahan bakar fosil dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Secara ekonomi, meningkatnya penggunaan biodiesel berdampak pada pengurangan impor solar, menghemat devisa, dan meningkatkan nilai tambah industri hilir.
Pemilihan biodiesel sebagai energi alternatif prioritas disebabkan konsumsi energi Indonesia terus menanjak. Kebutuhan energi nasional pada 2017 sebesar 855,3 juta barel setara minyak (BOE). Kemudian melonjak menjadi 936,3 juta BOE pada 2018 lalu.
Untuk mengatasi peningkatan kebutuhan energi nasional, Dewan Energi Nasional (DEN) menargetkan bauran energi dari Energi Baru Terbarukan (EBT). Pada 2030 nanti, bauran EBT diharapkan melampaui minyak bumi, dengan nilai bauran 22 persen untuk minyak bumi dan 25 persen untuk EBT.
Terdapat sederet tantangan dalam penggunaan biodiesel. Beberapa di antaranya adalah standarisasi lingkungan untuk produksi biodiesel rendah emisi, juga transparansi serta keterlacakan asal-usul minyak sawit agar biodiesel berkelanjutan. Diperlukan juga konsistensi pemberian insentif biodiesel, meningkatkan penggunaan di sektor non-PSO, serta menyesuaikan mesin kendaraan, dan penyediaan Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) agar penyerapan biodiesel optimal.