Berbagai persoalan tengah membelit industri hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia sehingga investasinya cenderung lesu. Kondisi ini juga dirasakan oleh perusahaan lokal seperti PT Saka Energi Indonesia, anak usaha PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang baru berdiri tahun 2011.
Direktur Utama Saka Energi Tumbur Parlindungan mengidentifikasi faktor-faktor penghambat investasi migas di Indonesia. “Tidak perlu izin yang banyak tapi harus ikuti compliance aturan mainnya,” katanya dalam wawancara khusus dengan wartawan Katadata, Arnold Sirait, di sela-sela acara IPA Convex, 18 Mei lalu.
Meski begitu, Saka tetap memacu ekspansi usahanya. Yang terbaru, perusahaan ini membeli 26,25 persen hak kelola BP Indonesia di Blok Sanga-sanga. Padahal, kontrak blok di Kalimantan Timur itu akan berakhir tahun depan dan pengelolaannya diserahkan kepada PT Pertamina (Persero).
Apa yang melatari aksi korporasi tersebut? Berikut petikan wawancara dengan Tumbur yang bulan Mei ini genap setahun memimpin Saka Energi.
Apakah bisnis hulu migas di Indonesia sudah tidak menarik bagi investor?
Bukan tidak menarik, mereka sangat tertarik untuk investasi di Indonesia karena resources-nya besar. Cuma proses untuk investasinya yang membuat mereka belum melakukan investasi.
Contohnya, kita di Indonesia masih buat perizinan. Di Amerika Serikat (AS), bukan permit tapi compliance. Mereka mengikuti aturan, begitu tidak ikut aturan maka kena pinalti. Di sini permit banyak, tapi kalau tidak ikut aturan maka tidak kena pinalti.
Contohnya kebakaran di sawit, mereka izinnya jalan. Begitu kebakaran, tidak ada yang kena pinalti. Harusnya dibalik, tidak perlu permit tapi ikuti compliance aturan main di sini. Begitu melanggar kena pinalti yang besar. Cara itu akan mempercepat proses. Selama ini tidak seperti itu, mengurus perizinan saja ratusan.
Apa kendala lainnya?
Kedua, selama ini tidak ada timeline (batasan waktu pengurusan izin). Dikurangi (jumlah izinnya) tapi waktu pengurusannya masih dua tahun, sama saja bohong. Yang jadi masalah bukan izinnya dikurangi tapi timeline-nya. Dengan batasan waktu, mereka (investor) bisa mengatur waktu akan investasi.
Itu yang jadi masalah, selain rezim fiskal. Rezim fiskal itu perhitungan keekonomian lapangan masing-masing. Saya tidak bisa komentar gross split, PSC (kontrak bagi hasil), dan lain-lain karena itu tergantung lapangannya.
Benarkah salah satu rendahnya investasi hulu migas di Indonesia karena harga minyak seperti dinyatakan pemerintah?
Harga minyak itu berpengaruh. Tapi kalau keekonomiannya lebih bagus di negara lain dengan harga minyak sekarang maka dia akan pindah ke negara lain. Namanya juga investor itu pedagang, dia cari untung yang banyak.
Jadi, harga minyak itu salah satu indikatornya. Selain itu, terkait rezim fiskal seperti gross split atau PSC. Baru kemudian lihat faktor lain, izinnya berapa lama, cadangannya berapa besar serta kemudahan berbisnis.
Bagaimana mengenai masalah pajak?
Jangan berubah-ubah harus sesuai dengan kontrak. Begitu kontrak sudah didesain, jangan diubah lagi di tengah jalan. Jadi kita sudah hitung dari awal.
Bagaimana skema baru gross split terhadap minat berinvestasi?
Gross split itu akan atraktif untuk daerah yang sudah ada fasilitas produksi dan infrastrukturnya. Tapi kalau di daerah yang belum ada infrastrukturnya, itu sulit untuk gross split. Kecuali pemerintah mau membangun infrastrukturnya.
Apakah akan menarik kalau diterapkan di lapangan milik Saka?
Kalau sekarang PSC. Tapi kalau fasilitasnya sudah jadi, lebih menarik. Jadi lapangan eksplorasi, di sampingnya ada lapangan yang produksi yang sudah ada fasilitas kita pakai. Nah, itu menarik. Tapi kalau dari nol merintisnya, itu repot.
Ada ketertarikan kontrak blok yang sudah berproduksi ganti ke skema gross split?
Kalau yang sekarang tidak.
Bagaimana kalau nanti ada blok baru?
Blok baru ya bisa diajukan (pakai skema gross split).
Saat ini ada blok baru yang sedang tahap penjajakan?
Join study iya. Ada beberapa di seluruh Indonesia. Ada 5 sampai 6 join study. Nanti pakai gross split atau tidak, kami lihat lagi.
Mengapa Saka membeli hak kelola Blok Sanga-sanga yang akan habis kontraknya dan selanjutnya dikelola Pertamina?
Saka itu bukan mau bersaing dengan Pertamina. Kami pelengkapnya Pertamina. Kedua, kami membantu PGN yang membangun infrastruktur. Kami cari sumbernya (gas), PGN yang membangun infrastrukturnya. Gasnya mau dialokasikan ke mana, itu urusan pemerintah. Tapi yang penting adanya sumber gas dan PGN bisa membangun.
PGN itu perusahaan infrastruktur. Karena itu, tugas kami adalah membantu PGN untuk membangun infrastruktur. Di Kalimantan belum ada infrastrukturnya PGN. Tidak ada sama sekali. Untuk membangunnya, kami harus punya sumber gasnya sama manusia untuk membangunnya. Karena itulah kami mengambil Sanga-sanga.
Apakah masih ekonomis karena blok itu akan habis kontraknya?
Masih. Nanti kami akan bisa mengajukan perpanjangan kontraknya. Kami obyektifnya membangun infrastruktur. Kalau punya Sanga-sanga, kami akan eksplorasi. Ada gasnya, bangun pipa.
Bagaimana kalau pemerintah menyerahkan Blok Sanga-sanga ke Pertamina?
Pertamina diserahkan mungkin jadi mayoritas. Tapi kami tetap mengharapkan nanti kami tetap menjadi operator, meskipun bukan mayoritas. Jadi kami bisa mengontrol biayanya.
Selain itu, kalau diserahkan ke Pertamina berarti pembangunan infrastruktur gas di Kalimantan akan tertunda. Sebab, Pertamina itu fokusnya tidak bangun infrastruktur tapi menyiapkan energi untuk Indonesia. Sedangkan PGN itu infrastructure company.
Mengapa harus memiliki blok, tidak mengambil pasokan gas dari sumur pihak lain?
Bukan pertimbangan ekonomis, tapi tidak ada yang mau memberikan gasnya. Selama ini gas Sanga-sanga kan diekspor. Sekarang kalau kami kelola sendiri blok itu, tidak perlu diekspor lagi.
Mengapa Saka dan PGN tertarik membangun infrastruktur gas di sana?
Kalau ada infrastruktur maka ada industri. Kami bangun infrastruktur supaya industrinya tumbuh. Apalagi sudah ada industrinya tapi belum tumbuh sehingga orang lari ke Jawa. Kami ingin industri tumbuh di tempat gasnya. Jadikan infrastrukturnya dulu baru pelanggan akan datang. Jangan dibalik.
Bagaimana dengan langkah pemerintah menurunkan harga gas?
Itu lebih ke downstream (hilir). Di upstream (hulu) itu lapangannya akan dikembangkan kalau ekonomis. Jadi tergantung lapangannya. Kalau deepwater (laut dalam) dengan harga gas sebesar itu (setelah diturunkan) tidak akan jalan proyeknya. Tapi kalau onshore (darat) dengan harga gas US$ 3, masih jalan proyeknya.
Bagaimana proyek ke depan Saka?
Kami fokus PGN membangun infrastruktur. Kami menyeimbangkan pasokannya. Makanya kami punya (ladang gas) di Amerika Serikat. Kami bisa bawa ke Indonesia atau ditukar, daripada ekspor. Produksi kami di Amerika 200 mmscfd. Kalau ada penambahan infrastruktur maka ada kebutuhan gas sehingga kami tentu akan menambah pula asetnya.
Bagaimana roadmap pengembangan infrastruktur gas oleh PGN?
PGN itu punya infrastruktur di Sumatera dan Jawa Barat. Tapi, di seluruh daerah bagian timur tidak ada infrastruktur. Kami akan mengarah ke sana, seperti halnya Presiden Joko Widodo membangun jalan tol ke timur Indonesia. Di samping tol itu ada infrastruktur.