Bangun Infrastruktur Bukan untuk Mewah-mewahan

Katadata | Arief Kamaludin
Pekerja menyelesaikan pembangunan jalur layang Mass Rapid Transit (MRT) di Jalan Raya Fatmawati, Jakarta, Minggu (22/1).
19/10/2017, 23.00 WIB

Dari sekian banyak menteri di Kabinet Kerja, Basuki Hadimuljono merupakan salah satu yang bisa dibilang paling jarang berada di kantornya. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) ini sibuk ‘blusukan’ meninjau proyek-proyek infrastruktur di bawah Kementeriannya.

Hasil kerja kerasnya mungkin bisa terbayar. Proyek-proyek infrastruktur di Kementerian PUPR yang ditargetkan selesai pada 2019, hingga tahun ini sudah banyak yang hampir rampung, misalnya proyek jalan nasional yang sudah 99 persen. Dia mampu menunjukkan keberhasilan fokus kerja pemerintahaan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang fokus pada pembangunan infrastruktur.

Menurut dia, untuk mengejar ketertinggalan dan mengejar target infrastruktur, tidak ada pilihan lain kecuali bekerja dengan ritme ‘rock and roll’. Seringkali dia mengabaikan waktu libur akhir pekannya dengan datang ke lokasi-lokasi proyek jalan, bendungan, dan proyek lain di bawah Kementeriannya.

Di sela kesibukan Basuki mengunjungi dan mengawasi pelaksanaan pembangunan proyek-proyek infrastruktur di Tanah Air, reporter Katadata Ameidyo Nasution mendapat kesempatan untuk mewawancarainya di Ambarawa, Jawa Tengah, Minggu (15/10).

 Mengapa pemerintah begitu gencar membangun infrastruktur?

Dalam pemikiran saya, pembangunan infrastruktur ini untuk mengejar ketertinggalan dalam meningkatkan daya saing. Jadi, mengapa fokus pemerintahan Pak Jokowi-JKmembangun infrastruktur, ini bukan untuk mewah-mewahan.

Peringkat daya saing infrastruktur Indonesia cukup rendah. Tidak usah bicara Singapura, kita sudah kalah dari Malaysia, Thailand, dan Filipina. Padahal, pertama kali Filipina bangun tol itu, perusahaan Indonesia yang bangun. Perusahaan Mbak Tutut itu (PT Cipta Marga Nusaphala Persada Tbk). Karena itulah, kami fokus di infrastruktur.

 Dalam tiga tahun ini sudah terlihat hasilnya?

Sekarang sudah ada hasilnya. Dalam laporan World Economic Forum (WEF), Indeks daya saing infrastruktur Indonesia pada 2015-2016 berada di peringkat 62, naik menjadi 60 pada 2016-2017. Dan sekarang (2017-2018) daya saingnya sudah berada di peringkat 52. Peningkatan indeks infrastruktur ini membuat peringkat Indeks Daya Saing Global (GCI) Indonesia ini meningkat dari 41 menjadi 36.

Bagaimana progres pembangunan infrastruktur di bawah Kementerian PUPR?

Konektivitas jalan sudah jelas progresnya. Targetpembangunan 2.650 kilometer jalan nasional (pada 2019) sudah pasti akan tercapai. Kami membangun jalan Trans Papua, jalan perbatasan, dan jalan nasional lain. Pada 2017 ini penambahannya secara kumulatif dari 2015 sudah mencapai 2.623 km (99 persen target hingga 2019). Tahun depan sudah pasti ada tambahan lagi.

Progres pembangunan jembatan pasti mengikuti. Jalan tol lebih besar lagi, program kami kan 1.000 km hingga 2019. Pada 2015 yang sudah selesai itu 132 km dan 2016 sepanjang 44 km. Dengan penambahan tahun ini, totalnya menjadi 658 km.

Pada 2019 total tambahannya bisa 1.851 km. Ini prestasi yang sering Pak Presiden sampaikan. Sebelum 2015, total panjang tol yang sudah terbangun itu hanya 780 km. Ini lima tahun kita ketambahan 1.851 km.



Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (ANTARA FOTO)

Bendungan dan perumahan?

Bendungan juga begitu. Target kami 65 bendungan, 16 yang lama, sisanya baru. Tahun ini selesai29 bendungan. Dari target 1.893 embung juga hingga kini yang sudah selesai sebanyak 840 embung.

Program sejuta rumah, kami ingin memperkecil backlog (kekurangan pasokan), dari 13 koma sekian juta, sekarang tinggal 11,6 juta. Progresnya, 2015 sebanyak 699.770 unit, 2016 sebanyak 805.169 unit, dan 2017 hingga Oktober sudah 700.000 unit. Mudah-mudahan Desember bisa sejuta atau minimal lebih dari 800.000 unit.

Dampak tol dalam memunculkan ekonomi baru ?

Kalau dalam persaingan, bukan antara yang besar dan yang kecil, tapi yang cepat, murah, dan bagus. Itu daya saing yang akan dimenangkan atau dalam rangka mempercepat. Biaya transportasi dan biaya logistik kita itu 2,5 kali biaya logistik di Malaysia. Karena, memang kemacetan atau jalan rusak menjadi penyebabnya.

Sehubungan dengan itu, diperlukan dukungan pembangunan tol untuk menurunkan biaya logistik. Sebab, biaya logistik ini bisa berpengaruh langsung pada pertumbuhan dan kegiatan ekonomi.

Apakah ada target menurunkan biaya logistik?

Minimal harus sama dengan Malaysia. Daya saing kita masih di posisi 36. Apa sih daya saing itu? Birokrasi, infrastruktur, dan sebagainya. Itu yang menjadi indikator survei WEF.

Yang tidak tercapai, sanitasi dan permukiman kumuh ?

Dalam target itu, ada yang pasti tercapai, ada yang perlu kerja keras dan ada yang tidak bisa tercapai.

 Apa yang menjadi penyebabnya?

Karena di proyek itu kami harus menggerakkan masyarakat, harus ada partisipasi mereka terutama. Itu yang membutuhkan waktu. Tidak bisa seperti membangun jembatan yang tinggal lelang dan dibangun saja. Kalau sanitasi itu perlu pemberdayaan masyarakat dulu, butuh waktu. Bukan karena susah, tapi kadang perlu waktu untuk menyelesaikannya.

Apa tantangan proyek infrastruktur selama ini?

Lahan. Tapi kan sekarang sudah ada LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara). Selama ini pembiayaan di anggaran Kementerian PUPR oke-oke saja.

Kemudian perlu penguatan koordinasi dan sinkronisasi antara pusat dan daerah hingga kabupaten. Supaya seirama. Jadi program kami ini bukan membantu program kabupaten atau provinsi. Kami ini membangun untuk daerah. Jadi, mereka (daerah) bukan berarti mendukung program pusat. Kami membangun daerah, kan itu usulan daerah juga.

Soal pembiayaan bagaimana?

Semua kan tidak dibebankan ke APBN. Kita bisa menarik investasi, makanya kenapa pemerintah sampai mengeluarkan 16 kebijakan ekonomi. Itu untuk memudahkan EODB (kemudahan berusaha) agar investasi masuk, dan ini tidak mudah.

Misal perizinan perumahan, Amdal Lalin (Kajian mengenai dampak lalu lintas dari suatu kegiatan atau usaha tertentu), itu masih menjadi masalah di daerah. Padahal di pusat sudah tidak ada izin ini. Kalo sudah ada Amdal ya sudah, kenapa ada Amdal lalin lagi.

Menurut Anda, bagaimana kepemimpinan Presiden Jokowi dalam memacu infrastruktur tiga tahun terakhir ini?

Saya selalu bilang, tantangan dalam pembangunan infrastruktur salah satunya kepemimpinan. Ini saya mohon maaf ya, kenapa dulu MRTtidak dijalankan? Karena soal kepemimpinannya, decision making-nya (pembuat keputusan). Diskusi saja, tapi tidak pernah diputuskan. Yang didiskusikan benefit cost ratio-nya saja. Keduacontrolling-nya (pengawasan).

Artinya pernyataan Presiden “Kalau saya datang satu kali, menteri datang dua kali, dan Dirjen datang tiga kali ke proyek” itu benar dan efektif ?

Saya ke Proyek Bendungan Karian itu empat kali lho, Pak Presiden sekali. Jadi terbukti. Di Trans Jawa kami sudah beberapa kali ke sana, Presiden juga. Jadi proyeknya berjalan, kencang  sekarang.

Reporter: Ameidyo Daud