Pembangunan Infrastruktur Untungkan Pemerintahan Selanjutnya

Arief Kamaludin|Katadata
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yura Syahrul
19/10/2017, 23.20 WIB

Gencarnya pembangunan infrastruktur sejak pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) tahun 2014 lalu, kini menuai kritikan. Sebagian ekonom menganggap besarnya dana proyek infrastruktur dapat mengancam keuangan negara di tengah seretnya penerimaan.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat kebutuhan dana untuk membiayai 245 Proyek Strategis Nasional (PSN) dan dua program prioritas infrastruktur mencapai Rp 4.700 triliun dalam lima tahun ke depan. Jumlah ini belum termasuk infrastruktur lain di luar daftar PSN.

Namun, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN) / Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro membantah anggapan bahwa pemerintah mulai kesulitan membiayai proyek infrastruktur. “Yang dibangun dengan APBN cuma 40%, sisanya BUMN dan swasta,” katanya dalam wawancara khusus dengan Tim Katadata: Metta Dharmasaputra, Yura Syahrul, Desy Setyowati dan fotografer Arief Kamaludin, di Gedung Bappenas, Jakarta, Jumat (20/10).

Berikut petikan wawancara dengan Bambang mengenai perkembangan proyek infrastruktur dan berbagai opsi skema pendanaannya.

Apa benar pemerintah sudah kewalahan mendanai proyek infrastruktur?

Tidak tepat kalau dibilang, “pemerintah sudah mulai ngos-ngosan mendanai infrastruktur”. Karena yang dibangun dari dana APBN cuma 40 persen, dimana proyek itu tidak mungkin dibiayai oleh swasta. Misalnya infrastruktur kebutuhan dasar manusia, seperti air bersih, sanitasi, perumahan, kemudian jalan biasa, jalan arteri, irigasi. Kalau proyek jalan tol, pembangkit listrik, bandara itu dibiayai oleh BUMN dan swasta.

Bagaimana pembagian porsi pembiayaannya?

Ketika kami merancang pembangunan infrastruktur periode 2015-2019 ini, total kebutuhan dananya kelihatan besar sekitar Rp 4.000 triliun hingga hampir Rp 5.000 triliun atau hampir US$ 380 miliar. Tapi memang sejak awal kami sudah mendesain, yang akan dibiayai APBN dan APDB sekitar 40%, BUMN 23-25%, sisanya oleh swasta. Jadi sejak awal pun sudah jelas, tidak semuanya mengandalkan APBN.

Bukankah pendanaan dari BUMN secara tak langsung juga menekan keuangan negara?

Skema awalnya, pemerintah memberi penugasan ke BUMN. Namun, belakangan pemerintah memberi kesempatan kepada swasta lebih besar. Kalau di awal kan BUMN itu pakai PMN (penyertaan modal negara). Tapi dua APBN terakhir kan hampir tidak ada lagu PMN sehingga tidak memberatkan negara. Mereka (BUMN) sudah bisa cari pembiayaan sendiri, dan kami fasilitasi dengan yang non-APBN. Kalau butuh tambahan modal, bisa kami carikan mitra investor yang mau menambah modal mereka. Jadi skemanya tidak harus semua dikerjakan BUMN. Ketika BUMN merasa terbatas, cari sumber dana atau investor yang mau bermitra. Cuma memang susahnya, BUMN yang memiliki aset tersebut terkadang masih enggan bekerja sama dengan swasta.

Jadi, setelah tiga tahun ini mulai bergeser ke pendanaan non-APBN?

Memang semangatnya itu. Makanya, PMN sudah tidak ada lagi. Bahkan, PLN yang sebenarnya butuh PMN besar, (sekarang) sudah tidak minta lagi. Kami dorong, sebaiknya untuk pembangkit  dikerjakan swasta atau kerja sama dengan swasta. Karena kalau dikerjakan PLN sendiri, butuh modal, capital expenditure harus pinjam dan menimbulkan cost of fund. Jadi beban biayanya semakin berat. Kalau bermitra dengan orang lain, PLN tidak harus pinjam dan tambah modal. Keuangan perusahaan akan lebih baik.

Bagaimana dengan penilaian beberapa ekonom bahwa proyek infrastruktur terlalu ekspansif?

Masalahnya begini, infrastruktur itu bukan proyek mercusuar, infrastruktur itu kebutuhan. Itu yang paling penting. Namun, proyek infrastruktur itu tidak bisa selesai dalam tiga bulan atau lima bulan. Pembangkit listrik yang besar atau jalan tol yang lengkap itu bisa 3-4 tahun. Kalau saya bicara infrastruktur, somebody harus memulai. Pemerintahan berikutnya akan menghadapi masalah yang sama kalau semua berpikiran infrastruktur itu menghabiskan uang. Kita harus melihat belanja infrastruktur itu adalah investasi, bukan konsumsi. Jadi, kami melakukan sesuatu bukan untuk saat ini, bukan untuk habis dipakai tapi untuk masa depan.

Menurut saya, siapapun harus memberikan apresiasi kepada Presiden (Jokowi) karena proyek infrastrukturnya itu tidak akan menguntungkan pemerintahan sekarang. Sebagian besar akan menguntungkan pemerintahan-pemerintahan berikutnya. Kan enak pemerintah berikutnya, ketika infrastrukturnya sudah tersedia atau hampir jadi. Yang susah ketika sadar kalau infrastrukturnya belum terbangun dan harus dibangun. Waktunya panjang,  tidak mungkin selesai satu periode pemerintahan.

Bagaimana risiko kenaikan utang akibat proyek infrastruktur?
Tidak semua infrastruktur pakai APBN, kan cuma 40%. Itu yang pengaruh ke utang pemerintah. Makanya, kami tidak memberikan PMN, karena PMN itu menambah utang. Kami mendorong BUMN untu mencari ekuitas dari swasta atau swasta sendiri yang mengerjakan proyek infrastruktur.

Apakah proyek infrastruktur tidak dipangkas kalau target penerimaan pajak tidak tercapai?

Intinya, tidak harus semua proyek infrastruktur dibiayai dengan APBN. Penerimaan pajak tidak tercapai bukan berarti proyek infrastruktur harus ditunda. (Pengaruhnya) kan hanya pada proyek infrastruktur dari APBN. Solusinya bisa dibuat proyek itu multiyears (tahun jamak).

Kalau proyek yang dibiayai BUMN dan swasta, tidak terpengaruh oleh penerimaan pajak. Justru kalau dijumlahkan, porsi swasta dan BUMN 60% (dalam proyek infrastruktur). Memang masih banyak orang berpikir seolah-olah infrastruktur harus dikerjakan pemerintah, harus dibiayai APBN. Itu salah besar.

Apa yang membedakan negara maju dengan yang tidak? Infrastruktur salah satunya. Korea Selatan harus diakui infrastrukturnya lebih bagus daripada kita. Itu dibangun oleh sebagian pemerintah, sebagian swasta. Nothing wrong dengan mengajak swasta membangun infrastruktur.

Kalau infrastruktur seadanya saja maka akan menyusahkan pemerintahan-pemerintahan berikutnya. Daya saing Indonesia akan turun terus. Yang membuat posisi Indonesia selalu di bawah di WEF Competitiveness Index dan Ease of Doing Bussines (EoDB) adalah masalah infrastruktur. Sekarang semuanya sudah membaik, karena infrastrukturnya membaik. Sebenarnya pemerintahan sekarang sedang melakukan investasi untuk masa depan Indonesia. Yang mendapat untung pemerintahan berikutnya.

Bagaimana dengan tudingan bahwa pemerintah terlalu mendorong BUMN dan kurang memberi ruang untuk swasta?

Justru itu, Bappenas mendorong pembiayaan non-APBN (Pendanaan Infrastruktur Non-APBN/PINA) untuk mempercepat pembangunan infastruktur. Jangan sampai mereka berpikir dengan pola lama, berharap dari APBN atau pinjaman luar negeri, yang ujungnya membebani APBN. Kami ingin yang non-anggaran itu benar-benar murni dari swasta. Jadi, meski dibilang tujuannya ambisius, bukan pemerintah sendiri yang bekerja, dibantu juga BUMN dan swasta.

Bagaimana dengan pernyataan Presiden Bank Dunia bahwa sekitar 100 item pada skema KPBU tidak menguntungkan swasta, hanya menguntungkan BUMN?

Tidak. Justru KPBU yang sudah jalan, mayoritas swasta murni. PPP Umbulan yang dikerjakan konsorsium Medco dan Bangun Cipta, yang merupakan swasta dalam negeri . Pembangkit listrik di Batang itu didanai oleh Jepang dan Adaro. PPP Palapa Ring itu konsorsium, ada BUMN dan swastanya. Saya malah tidak melihat poin bahwa PPP di Indonesia hanya menarik untuk BUMN. Kami membuat skema PPP agar tidak semuanya ke BUMN. Tapi, PPP memang diarahkan untuk sektor-sektor seperti air bersih dan transportasi masal, yang memang tidak mungkin 100% swasta. Harus ada pemerintahnya di situ.

Apa saja pembiayaan di luar APBN yang melibatkan swasta?
Kami (Bappenas) fokusnya dua, ada PPP dan PINA. Kalau PPP ramai-ramai dengan kementerian lain. Fokus Bappenas adalah pipeline project-nya. Kami membuat daftar proyek yang nanti akan di PPP-kan. Bappenas yang memilih proyek APBN, proyek PPP, dan proyek PINA atau swasta. Tapi nanti ada proyek yang diusulkan daerah, seperti  Umbulan itu usulan Jawa Timur. kemudian distrukturkan dengan proyek PPP sehingga jadilah proyek tersebut dikerjakan oleh swasta.

Apa fasilitas yang diberikan pemerintah dalam skema KPBU?

Harus ada dukungan dari pemerintah. Khusus untuk SPAM Umbulan, itu ada viability gap fund (VGF), separuh dari nilai proyek. Memang masih dari APBN, lumayan separuhnya. Kalau nilai proyeknya Rp  1 triliun, kami hanya berikan Rp 500 miliar, tapi kita dapat Rp 1 triliun. Jadi kita lihat leverage-nya. Jadi kami lakukan pipelining. Kemudian kalau itu PPP maka akan distrukturkan dan mencari investor melalui proses bidding.

Bagaimana modal pendanaan PINA?

Kalau PINA ini lebih equity financing. Itu bisa mengurangi kebutuhan PMN, karena yang dimasukkan adalah modal. Jadi BUMN tidak perlu lagi suntikan modal dari negara, karena dapat dari swasta. Kami fasilitasi supaya mereka mau masuk ke proyek infrastruktur Indonesia.

Contohnya?

Kami sudah lakukan satu untuk Waskita Tol Road yang memegang banyak proyek tol Trans Jawa senilai Rp 70 triliun. Mereka perlu sediakan modal 30% atau Rp 21 triliun. Padahal, Waskita cuma punya uang Rp 5 triliun, jadi dia harus nambah Rp 16 triliun. Kalau dalam kondisi waktu awal pemerintahan ini, mereka pasti akan minta PMN untuk menutup kekurangan Rp 16 triliun. Tapi dengan skema PINA, Rp 16 triliun ini diisi oleh masuknya investor-investor, seperti PT Taspen dan PT SMI. Saat ini masih berproses

Bukankah rencananya Waskita akan melepas proyeknya, bukan anak usahanya?

Memang strateginya begitu. Equity financing ini ada dua pilihan, di level platform ini perusahaan. Tapi, PINA ini memungkinkan juga di level proyek.

Setiap investor itu beda-beda maunya. Waktu saya ke Kanada, kebanyakan ingin masuk di perusahaan karena platform-nya besar. Tapi kalau bicara investor dalam negeri, mungkin kebanyakan memilih masuk ke proyek. Cuma, kalau untuk proyek kan harus buat anak usaha lagi. Biayanya banyak yang harus diperhitungkan.

Apakah tol Trans Sumatra yang dipegang Hutama Karya juga memungkinkan pakai skema PINA ini?
Bisa saja. Kami melihat tol akan jadi komoditi yang bagus. Tapi, mungkin di Trans Sumatra yang antarkota agak berat, karena traffic-nya tidak sebagus di kota.  Yang dapat skema PIBA itu ruas Medan-Binjai, Palembang-Indralaya, atau Bakauheni-Terbangi. Tapi, kalau Banda Aceh-Medan, Medan-Pekanbaru, Pekanbaru-Jambi, Jambi-Palembang itu mungkin butuh waktu. Di situ mungkin pemerintah masih harus terlibat langsung.

Bagaimana pembagian skema pendanaan lewat sekuritisasi aset atau equity financing?

Sekuritisasi pada intinya adalah utang yang didasarkan atas penerimaan seperti di jalan tol Jagorawi. Kalau equity financing itu tidak bicara penerimaan atau utang, tapi tambah modal. Kalau perusahaan tambah modal, bisa pinjam dana lebih besar. Perusahaan yang melepas sahamnya akan dapat dana segar untuk investasi lagi di tempat lain. Sekuritisasi saya pikir bagus, setidaknya jadi alternatif.

Selama ini kalau ke pasar modal, seolah harus IPO. Padahal Jasa Marga sudah IPO. Yang bisa dilakukan adalah sekuritisasi aset (KIK EBA). Tapi, itu sebenarnya utang yang memilkiki kelemahan, yaitu terbatas. Di Undang-Undang Pajak itu, rasio utang terhadap akuitas atau Debt to Equity Ratio (DER) itu tidak boleh lebih dari empat.

Jadi, apa tujuan dari skema sekuritisasi dan equity financing BUMN?

Intinya kami buat skema itu, supaya jauh-jauh dari PMN. Kalau tidak, BUMN akan keenakan minta PMN terus. PMN itu paling enak, zero cost. Kalau ekuitas memang tidak bayar bunga, tapi dividen. Bayangkan kalau PMN, sudah zero cost, keuntungan dipegangnya semua karena sahamnya tidak berkurang.

Padahal, anggaran kita defisit. Setiap penambahan PMN Rp 1, pasti akan menambah utang. Makanya, untuk tahap awal PMN masih oke untuk mendorong BUMN. Tapi, kalau sudah tahun kedua dan ketiga, menurut saya sudah berlebihan. Apalagi, waktu itu PLN sempat mau minta PMN besar sekali untuk tahun ketiga. Waktu saya masih Menteri Keuangan, saya bilang “itu tidak bisa begini terus”. Karena itu, setelah ada skema PINA ini, PLN sudah mau ikut. Pembangkit-pembangkit lamanya akan di-share-kan dengan mengajak masuknya swasta.

Dengan semua skema pembiayaan ini, apakah proyek infrastruktur bisa selesai sesuai target?

Banyak proyek yang kemungkinan bisa diselesaikan dalam periode 2015-2019, saya yakin bisa. Jakarta-Surabaya bisa terkoneksi akhir 2018 dengan jalan tol. 2019, broadband fiber optic network (jaringan kabel serat optik) Palapa Ring barat, tengah, dan timur juga bisa diselesaikan. Proyek listrik 35 GW, mungkin 70-80% bisa tercapai di 2019. Itu sekitar 20 ribu sekian Mega Watt.

Backlog perumahan diharapkan berkurang dengan mulai banyaknya perumahan karyawan dan seterusnya. Kami juga mendorong sanitasi air bersih dan pembenahan kampung kumuh. Targetnya memang ambisius, 100% akses air bersih, 100% akses sanitasi, dan 0% kampung kumuh.

Selain itu, proyek tol Trans Sumatra setidaknya bisa mulai di beberapa titik pada akhir 2019. Khusus untuk infrastruktur, kebanyakan masih sesuai jadwal, termasuk bendungan dan irigasi. Sejauh ini yang saya amati sudah on track.

Apakah biaya logistik sudah turun berkat operasional beberapa proyek  infrastruktur?

Biaya logistik diharapkan  mendekati 20% dari PDB (produk domestik bruto). Kalau awal pemerintahan ini kan masih 30%.