Badan Usaha Milik Negara (BUMN) jadi salah satu motor utama program pembangunan infrastruktur yang dicanangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sejak tiga tahun lalu. Mulai dari proyek jalan tol, listrik, hingga pipa gas dan kilang minyak.
Belakangan, peran tersebut menuai kritik dari berbagai pihak karena BUMN dianggap terlalu dominan sehingga tidak memberikan jatah proyek untuk swasta. Menteri BUMN Rini Soemarno membantah keras tudingan tersebut. Ia juga mempersoalkan kritik serupa yang datang dari Bank Dunia.
"Mungkin yang dilihat jalan tol, tapi itu bukan proyek pemerintah dan tidak ada (swasta) yang mau," katanya kepada Tim Katadata: Heri Susanto, Yura Syahrul, Pingit Aria, Miftah Ardhian dan fotografer Arief Kamaludin di kantornya, Jakarta, Jumat (27/10) sore. Selama hampir dua jam, Rini menguraikan strategi BUMN menggarap proyek infrastruktur, termasuk mengatasi kendala modal dan pendanaannya. Berikut petikan wawancaranya.
Sejauh mana peran BUMN dalam pembangunan infrastruktur sejak pemerintahan Jokowi-JK?
BUMN pada dasarnya adalah perusahaan, sehingga dalam menjalankan usahanya harus mampu mencari pendanaan sendiri. Ini berbeda dengan proyek kementerian yang menggunakan anggaran negara.
Contohnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Mereka mendapat anggaran yang cukup besar untuk pembangunan infrastruktur, jalan, waduk dan lain-lain. Karena didanai dengan uang negara, masyarakat menggunakan jalan yang dibangun PUPR itu tidak bayar. Bayarnya dalam bentuk pajak.
Nah, BUMN juga membangun infrastruktur, tapi yang seperti apa? Ya jalan tol. Kenapa? Karena investasinya bukan dari belanja negara. Investasinya pada dasarnya dari pinjaman. Memang ada Penyertaan Modal Negara (PMN), tetapi itu harus menciptakan nilai tambah karena BUMN harus membayar dividen.
Bagaimana nilai PMN dibandingkan dividen yang dibayarkan BUMN?
Untuk 2015-2016, secara grup BUMN mendapatkan PMN total Rp 85 triliun. Dividen yang kita berikan 2015, 2016, 2017 itu Rp 115 triliun. Jadi, sudah di atas (nilai PMN).
Tahun ini sebetulnya kami sudah tidak meminta PMN. Tetapi karena proyek Light Rail Transit (LRT) Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi (Jabodebek) yang tadinya proyek Kementerian Perhubungan menjadi proyeknya PT Kereta api Indonesia (KAI), kami minta tambahan modal. Tahun ini Rp 2 triliun.
Menurut saya, proyek ini secara komersial feasible selama dipaketkan dengan Transit Oriented Development (TOD). Jadi kami bangun apartemen, ada juga pusat perbelanjaan di dekat stasiun.
Apakah skema PMN untuk BUMN yang menggarap proyek pemerintah akan dilanjutkan?
Ke depan, harapan kami tidak usah deh minta modal ke negara. Caranya dengan membentuk holding. Harapan kami, holding ini yang mencari pinjaman untuk disuntikkan ke bawah. Itu kenapa saya selalu membicarakan holding agar BUMN bisa tetap berkembang, tetap bisa melakukan fungsinya sebagai agen pembangunan, tetapi tetap tidak membebani keuangan negara.
Bagaimana perencanaan pemerintah dalam memacu proyek infrastruktur selama tiga tahun terakhir ini?
Sejak awal, sebelum Bapak Presiden dilantik, di dalam tim transisi kami melihat salah satu cara mendorong pertumbuhan ekonomi adalah dengan menarik investasi. Sementara, kami lihat selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan investasi di sektor industri itu sangat kecil.
Ternyata, permasalahannya itu listrik, juga biaya logistik yang sangat mahal. Lalu, kami review lagi. Bagaimana kok jalan di Jawa ini sudah padat, sementara jalan tol yang sudah direncanakan sejak 1996 belum tersambung. Ini yang jadi prioritas kami.
Di pihak lain, kalau lihat APBN, banyak sekali program bagi masyarakat yang perlu mendapatkan dukungan penuh, seperti membantu keluarga pra-sejahtera, kesehatan, hingga pendidikan. Akhirnya, diputuskan bagaimana beberapa program pembangunan ini harus bisa dimotori BUMN.
Apa yang diprioritaskan BUMN, mendapat untung atau menjalankan penugasan pemerintah?
Harus balance. Itu susah memang. Apalagi kalau BUMN-nya perusahaan public, kami dilihat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bursa Efek Indonesia (BEI), Badan Pengawas Keuangan (BPK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bayangkan kalau mereka yang benar-benar profesional, ada yang dari Coca-Cola, dari General Electric (GE), bilang ‘Saya jangan jadi direktur utama deh, saya direktur saja’.
Bagaimana BUMN menggarap proyek-proyek infrastruktur dari pemerintah tersebut?
Di proyek jalan tol misalnya, kami lihat di Jawa izinnya sudah diberikan semua oleh Kementerian PUPR sejak tahun 1996, tapi cuma dipegang saja. Kenapa mereka bisa pegang tapi tidak bisa dibatalkan? Karena perjanjiannya memang mengharuskan pemerintah membebaskan lahan minimal 70% dari jalur itu.
Nah, selain pemerintah belum ada uang, membebaskan lahan itu memang sulit. Akhirnya, ya sudah deh BUMN dulu. Kami talangin dulu bebaskan lahan, sambil pelan-pelan kalau APBN-nya ada, kami dibayar balik.
Bagaimana proses pengalihan izin pembangunan jalan tol itu?
Kami beli lo. Kami keluarkan uang. Yang terakhir kami beli itu Tol Bogor, Ciawi, Sukabumi (Bocimi) dari Hary Tanoesoedibjo. (Izin tol) itu pemiliknya sudah ganti empat kali. Negosiasinya alot dan harganya lumayan, mereka pasti mau laba, tapi memang itu hak dia secara kontrak. Selain itu, tol Becakayu (Bekasi-Cawang-Kampung Melayu) yang sebentar lagi diresmikan Presiden. Insya Allah minggu depan.
Makanya saya terakhir bilang kalau ada kontrak baru harus jelas nih. Harus ada maturity-nya. Jadi jelas, kalau tidak terealisasi, apa yang harus dilakukan.
Karena itu, dalam tiga tahun ini, kami bisa membangun 568 kilometer jalan tol. Itu tol yang sudah jadi saja, tidak termasuk yang baru pembebasan lahan. Sebab sebenarnya ada juga yang sudah ditender tapi tidak ada yang mau, seperti Medan-Binjai, Palembang-Indralaya, Kualanamu-Tebing Tinggi, Bakauheuni-Tebangi Besar-Palembang. Tiga kali tender tidak ada yang mau, karena secara hitungan IRR (Internal Rate of Return) buat swasta itu kurang. Akhirnya kami yang ambil.
Berapa IRR-nya?
Kalau tidak salah Bakauheni-Tebangi Besar itu 8% dalam rupiah. Tidak sampai di atas 10%. Tapi kami yakin (IRR) bisa lebih dari itu nantinya selama ada perbaikan penyeberangan. Kapalnya (merak-Bakaheuni) harus bisa sampai satu jam. Karena itu, sinergi BUMN sangat penting untuk membuat suatu investasi besar yang tadinya dianggap tidak menguntungkan menjadi sangat menguntungkan, seperti sinergi dengan ASDP untuk penyeberangan.
Selain itu, yang memiliki jalan tol (Trans Sumatra) memang Hutama Karya sebagai 100% milik Negara. Tetapi, pengerjaannya bersama BUMN lain. Ada PTPP, Wijaya Karya, Waskita Karya. Jadi, bersinergi untuk optimalkan peralatan sehingga biayanya bisa lebih rendah.
Bagaimana dengan pembangunan infrastruktur kelistrikan?
Listrik ternyata persoalannya bukan pembangkitnya saja. Tapi, kekurangan transmisi dan gardu induk sehingga banyak sekali pembangkit listrik yang tidak ada sambungannya. Karena itu, elektrifikasi ke masyarakat sampai tahun 2014 hanya mencapai 84%.
Kami kemudian berpikir bahwa ini harus diintensifkan supaya masyarakat bisa lebih cepat mendapatkan listrik. Sekarang, elektrifikasi sudah mencapai 93%. Dalam tiga tahun ini sudah bertambah 9%.
Target kami adalah menambah transmisi 46 ribu kilometer. Sementara yang sekarang sudah dibangun sekitar 26 ribu kilometer kalau tidak salah. Kemudian, pembangunan power plant dari 35 GW, yang dikerjakan sendiri oleh PLN itu kira-kira 10 GW. Sisanya itu swasta, IPP (Independent Power Producer). Makanya, kalau kami (BUMN) dibilang merangkul (proyek infrastruktur), itu merangkul apa?
Mengapa PLN tidak fokus membangun transmisi saja dibandingkan pembangkit yang butuh dana besar?
PLN bertanggung jawab menerangi seluruh pelosok Indonesia. Jadi, harus ada hal-hal yang dikontrol oleh negara. PLN itu 100% milik negara. Kalau semua (pembangkit) dilepas ke swasta, tapi swastanya tidak perform apa yang akan terjadi? Yang dimarahin PLN. Jangan lupa, kami itu memberikan pelayanan publik. Jadi, harus ada rasionya (kepemilikan pembangkit), kita harus punya kontrol.
PLN bertanggung jawab memberikan pelayanan listrik ke masyarakat. Misalnya Anda, listriknya mati, tapi kami bilang ‘sorry jaringan Anda nyambungnya ke pembangkit swasta, kamu marah saja ke swasta’. Pasti Anda marahnya tetap ke PLN.
Selain itu, selama 3 tahun harus dilihat efisiensinya PLN. Tahun 2014, subsidi negara ke PLN Rp 100 triliun. Tahun 2015 atau 2016 tinggal Rp 50 triliun. Sekarang pun tidak ada kenaikan tarif listrik padahal harga batu bara sudah naik tiga kali lipat. Kami lakukan efisiensi besar-besaran.
Bukankah kondisi keuangan PLN saat ini masih mengkhawatirkan?
Tidak. Tapi, bahwa keuntungannya turun itu iya. Turun, itu kami ngomong ke Menteri Keuangan.
Tetapi kemudian keluar surat Menteri Keuangan mengenai kondisi keuangan PLN…
Surat Menteri Keuangan itu buat saya normal-normal saja. Beliau mengingatkan, ‘Hati-hati kalian ini, harga listrik tidak nai tapi harga batu bara naik. Gimana? Harus hati-hati’.
Pasti dong kami hati-hati. Tapi kami ngomong lagi ke Menteri Keuangan. ‘Ya pasti keuntungannya turun, jadi Ibu Menteri Keuangan jaga-jaga ya kalau dividennya tidak semua kami bayar’. Sebab, kami terus terang mengutamakan dulu pembayaran ke bank.
Bagaimana dengan tudingan BUMN terlalu mendominasi proyek infrastruktur pemerintah?
Mungkin yang dilihat jalan tol, tapi itu bukan proyek pemerintah. Ini bisa terbuka buat siapapun, tetapi tidak ada yang mau. Nah, kalau proyeknya pemerintah itu seperti jalan nasional, jalan provinsi.
Saya tanya ke Menteri PUPR, berapa sih total anggarannya? Kalau tidak salah itu Rp 81 triliun. Yang dikerjakan BUMN berapa sih? Ternyata, kata Pak Menteri itu cuma Rp 9 triliun. Nah, itu yang benar-benar proyek pemerintah dari APBN.
Kalau jalan tol itu pembiayaannya lewat perbankan atau obligasi. Karena BUMN Karya sudah public listed company, kecuali Hutama Karya. Jadi, mereka mengeluarkan obligasi, pinjaman bank, mix. Ada juga seperti Waskita Karya yang menjual ruas tolnya.
Bank Dunia juga memberikan kritik yang sama
Kenapa mereka tidak mau BUMN jadi sehat? Kenapa mereka tidak mau melihat negara ini melakukan pembangunan dengan cepat? Dibandingkan dulu-dulunya. Ya siapa tidak tahu. Siapa yang tidak mau Indonesia maju? Siapa yang tidak mau Indonesia cepat tumbuh? Saya selalu menekankan, BUMN itu punya siapa sih? Mungkin tidak suka sama saya boleh, tapi jangan tidak suka sama BUMN. Karena BUMN punya bapak ibu sekalian.
Kalau ada proyek yang harus selesai cepat, BUMN didorong kerjakan, pasti akan kami kerjakan. Karena negara bisa dengan mudah mencopot dirutnya kok. Presiden dengan mudah mencopot dirutnya. Tapi, kalau swasta dikasih proyek jalan tol dari tahun 1996, bisa apa kita? Tidak bisa apa-apa. Tidak bisa minta dikembalikan kontraknya karena secara hukum mereka kuat. Apalagi mengganti direksi perusahaannya.
Jadi, Bank Dunia teriak-teriak seperti itu, aneh buat saya. Negara-negara berkembang yang akhirnya bisa maju karena BUMN. Lihat Singapura, lihat Malaysia, paling utama liat Cina.
Lihat perbandingan India dan Cina. Pertumbuhan ekonomi maupun kemakmuran rakyatnya lebih bagus Cina karena punya banyak BUMN. India tidak karena dipegang oleh swasta. Yang kaya itu Mittal, Tata, Rekon, itu semuanya swasta. Di Cina, hebatnya,BUMN-nya gede, swastanya juga gede. Di Indonesia, swastanya juga gede tapi saya tidak teriak-teriak.
Apakah penurunan harga saham BUMN karya rata-rata 25% tahun ini karena proyek infrastruktur membebani keuangannya?
Sedikit tertekan. Ya mungkin market-nya sedang tertekan pada sektor konstruksi dan properti. Kedua, ada kekhawatiran apakah proyek yang dipegang ini membebani mereka (BUMN). Tapi ini kami kawal betul.
Bagaimana strategi pendanaan BUMN tanpa PMN?
Salah satunya sekuritisasi aset seperti yang dilakukan pertama kali oleh Jasa Marga. Sekuritisasi pendapatannya lima tahun ke depan dari jalan tol Jagorawi. Itu menurut saya sangat safe bagi yang memegang sekuritisasi aset Jasa Marga karena hitungannya jelas, ada cash flow-nya.
Selain itu, PLN juga sudah. Sedangkan BTN malah sudah tujuh kali sebelumnya dalam bentuk Kontrak Investasi Kolektif – Efek Beragun Aset (KIK – EBA). Ke depan mungkin ada beberapa (BUMN). Kami juga siapkan sekarang obligasi rupiah di luar negeri (Komodo Bond).