Agro Digital Itu Berat, Tapi Kesempatannya Besar

Ilustrator: Betaria Sarulina
Penulis: Muchamad Nafi
11/4/2018, 08.00 WIB

Sayap bisnis Triputra Group terus berkembang. Tahun lalu, misalnya, Triputra masuk sektor pengolahan makanan. Menggunakan bendera PT Sumber Cassava Indonesia (SCI), mereka memproduksi dan mengembangkan produk turunan singkong di Padalarang, Jawa Barat. SCI membidik, di antaranya, produk substitusi tepung terigu yang terbuat dari gandum.

Praktis, langkah tersebut memperluas jaringan perusahaan yang didirikan Theodore Permadi Rachmat ini. Sektor makanan melengkapi tiga bisnis utama yang sudah dikembangkan: perkebunan, pertambangan, dan manufaktur.

Tak berhenti pada pengembangan sisi manufaktur, Triputra makin masuk lebih dalam ke teknologi pertanian atau agro digital terutama untuk komoditas beras dan jagung. Di sektor ini masih jarang pemain besarnya. “It is not easy,” kata Arif Rachmat kepada Desy Setyowati, Metta Dharmasaputra, dan Muchamad Nafi. “Tapi kesempatannya besar.”

Dalam wawancara khusus dengan Katadata pada Jumat, akhir Maret lalu lalu, di The East, Kuningan, Jakarta, CEO PT Triputra Agro Persada ini mengungkapkan pesatnya perekembangan teknologi yang masuk ke sektor-sektor bisnis termasuk agro industri. Lelaki yang sempat 15 tahun tinggal di Amerika Serkat itu juga membeberkan sejumalah aksi korporasi perusahannya.

Bagaimana Anda melihat perkembangan digital dan upaya mengkawinkannya dengan bisnis yang sudah dimiliki Triputra Group?

Selain saya CEO di kelapa sawit, kami juga punya bisnis karet. Dua tahun terakhir saya ke beras, sekarang mau ke jagung. Intinya, food di Indonesia. Itu impian Pak Teddy (Theodore Permadi Rachmat) sebenarnya: ketahanan pangan, kurangi impor, trade balance bagus dengan cara kesejahteraan petani dinaikkan, supply chain dibenahi. Efisiensi. Beliau merasa pemain yang besar di situ belum ada. Jadi potensi bagus juga.

Itu dari segi food-nya. Dari segi teknologi, saya lihat masalah digital ini kesempatan untuk diimbangi. Saya lihat bagaimana disruptive-nya ke ekonomi. Kalau kami masuk ke start-up untuk knowledge. Kedua, kalau nonton bola enggak taruhan enggak menarik, ini untuk menarik saja. Ketiga, kami senang lihat entrepreneur muda baru dengan demografi yang merepresentasikan populasi makin berhasil. Itu “Indonesian Idol” yang baru. Sangat bagus untuk Indonesia, membuat makin bangkit. Buat keluarga (Triputra), itu lebih dari cukup.

Dengan perkembangan pesat tersebut, Triputra akan masuk ke financial technologi (fintech) terutama yang terkait agro industri?

Jujur saja, fintech sangat cepat, sangat mudah, dan paling disruptive. Media juga. Kalau teknologi pertanian, is not is easy. Saya sudah masuk ke beberapa, (melalui) East Ventures seperti ke Eragano. Lalu ke Tanihub dan Regopantes. Tidak mudah karena dua faktor. Pertama, gadget-nya. Petani belum bisa menjangkau dan mereka juga belum bisa pakai. Kedua, seperti kata kunci di acara Jakarta Food Security Summit, adalah pendampingan. Itu membutuhkan banyak orang untuk mendampingi petani-petani menjadi kelompok tani. Kemampuan keterampilan di teknologi pertanian itu tidak gampang.

Jadi tidak hanya butuh teknologi, juga butuh orang untuk literasinya?

Contoh satu yang berhasil. Tapi bukan pertanian, ini BTPN Syariah. Kami punya 30 persen saham di sana. Dalam lima tahun ada 2,5 juta nasabah, 100 persen perempuan. Kredit tanpa jaminan, tanggung renteng. Untung tahun ini ratusan miliar. Itu microfinance. Tapi peningkatannya cepat sekali. Yang mau saya ceritakan, itu ada hubungannya dengan digital ini dengan tetap mengukur deviasi keuntungannya.

Proses keseluruhannya masih menggunakan mekanisme bank?

Betul. Itu fintech. Mereka juga mulai ke digitalisasi. Prosesnya manual pakai tablet, nanti kelompok ibu-ibu dikasih smartphone. Berapa ratus ribu langsung terpakai semua. Untuk BTPN Syariah akan digitalisasi. Tapi mereka baru kasih pinjaman ke ibu-ibu pedagang saja, belum ke petani. Pinjamannya mulai dari US$ 150, atau Rp 1 – 2  juta. Tapi bisa naik kelas.

Bagaimana dengan skema pembiayaannya bagi para petani?

Orang kasih pinjaman belum tentu balik. Tengkulak bekerja ya karena itu sektor ekonomi informal. Kalau tengkulak mau di-cut harus ada pemain yang sangat dominan, harga berapa pun petani mau jual, harus diserap. Itu kenapa PT Tiga Pilar berhasil, karena bisa menyerap dengan harga berapa pun dan bisa jual tanpa ada harga eceran tertinggi (HET), sebelum ada ketentuan HET. Kalau mau memotong tengkulak harus ada agregator besar yang bisa memberikan pinjaman lebih besar, produktivitas petani akan tinggi dan menjadi besar.

Teknologi dibutuhkan untuk membenahi sektor agrikultur, tetapi butuh pendampingan. Itu syarat untuk start-up apapun di bidang ini?

Iya. Kenapa Go-Jek bisa berhasil, karena pengendara ojek sudah punya smartphone dan peralatannya sendiri. Kalau petani, dia punya alat apa? Smartphone saja tidak punya.

Jagung ( ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah) 

Jadi, pengusaha yang mau mengembangkan ini di pangan akan jauh lebih berat dan cost-nya lebih besar?

Menurut saya begitu. Jadi pertanyannya scalability.

Sektor ini tidak akan menarik untuk digital ekonomi, untuk start-up? Lebih menarik ke fintech?

Hanya, on the other hand, di situ pemainnya juga tidak banyak. Fintech kan banyak banget. Kembali ke supply-demand, di sana yang banyak siapa? Tiga Pilar menurut saya, itu pun tidak pakai teknologi, pendampingan saja.

Dengan tingkat kesulitan tadi, apakah Anda masih berminat masuk?

Buat grup kami, memang awalnya doing well and doing good. Bagus buat semua tapi juga berkelanjutan. Menurut kami, filosofi itu di pertanian makanan bisa, karena kesempatan besar. Sekarang beras siapa? Selain pemerintah, masih kecil-kecil semua. Tiga Pilar pasti keluar. Kami akan masuk ke sana. Selain itu jagung. Kami sedang bicara dengan salah satu pemain besar untuk joint venture.

Ada platform digitalnya juga untuk itu?

Belum. Kebanyakan saat ini peluangnya beli-jual beli-jual. Tetapi beberapa kemitraan sudah lebih mendalam. Kami mau organisasinya nanti dengan close system. Tapi nanti akan ada dominasi. Karena itu kami dan pemerintah mesti transparan dan harus kasih lihat efeknya ke petani.

Nantinya petani harus membentuk koperasi?

Iya atau kelompok tani dan ada pembiayaan. Ada KUR juga. Tapi bank kan tidak mau memberi pinjaman besar-besar, harus ada afalis, juga penjamin.

Bagaimana menentukan parameter harga di tingkat petani?

Menurut saya, paling ideal intervensi terhadap pasar seminimal mungkin. HET (harga eceran tertinggi) untuk membantu pembeli. Tetapi kalau kami bisa membuat sebanyak-banyaknya orang masuk ke bisnis itu, saling berkompetisi, suruhlah Wilmar, Salim, ini kemenangan untuk negara. Jadi, pemerintah punya kebijakan, membuat iklim investasi sekondusif-kondusifnya. Sesederhana itu. Boleh saja BUMN masuk, biar ada wasitnya, tetapi kami tidak mau ada proteksi. Menko juga sempat memikirkan marketplace seperti pasar induk khusus untuk komoditi-komoditi itu, ajak pemain besar masuk.

Triputra akan membuat unit bisnis baru khusus menangani pengembangan digital di agro industri?

Kami masih dalam proses pembentukan. Kami membuat satu unit lagi dengan Pak Toto Sugiri, Sigma, untuk membuat IT consultant. Jadi beberapa hal saat ini masih in house. Kami juga membuat PLN Center. Untuk yang start-up-start-up ini, saya sendiri dengan beberapa tim yang lihat satu-satu. Akan diluncurkan tahun ini yang sama Toto.

Sekarang mulai merambah secara besar ke digital ekonomi?

Lebih sebagai enabler. Satu lagi logistik. Logistik itu peluang besar untuk menjadi bagian ekosistem e-commerce.

Untuk distribusinya saja?

Kami logistic solution dari A sampai Z. Bagian kami yang belum lengkap yaitu ekspres atau plasma delivery dan satu lagi cold chain.

Sudah masuk ke fintech?

Belum banyak. Masih kecil sih, misalnya, di Go-Pay, sedikit lah.

Sepertinya masih menimbang-nimbang untuk berinvestasi dalam skala besar. Karena risiko besar atau yang lain?

Yang unicorn saja baru tiga sampai empat. Jadi pertimbangan risiko, pertimbangan dompet tipis ha ha … Tapi semakin in inline dengan bisnis model kami, kami lebih berani.