Selain itu, tidak semua dana gelap berarti korupsi. Hanya saja memang, penggalangan dana yang diperoleh lewat koneksi personal kader partai berpotensi tinggi untuk korupsi. Kalaupun itu terbukti korup, partai tidak bisa dibubarkan karena praktik tersebut dilakukan oleh kader partai sebagai individu.
Modusnya pun bermacam-macam. Ada yang secara individual melakukan pertukaran antara uang dan keistimewaan, akses, atau lisensi. Biasanya, politisi yang memiliki akses kuasa atas kebijakan dan jabatan publik memberikan keistimewaan kepada pengusaha atau orang-orang tertentu yang menjadi kerabat dekatnya.
Kasus suap yang melibatkan mantan ketua umum PPP Romahurmuziy adalah bukti kuat bahwa elite partai juga berperan dalam menggalang dana. Melalui aksesnya terhadap kementerian agama, Romahurmuziy berusaha memengaruhi proses seleksi jabatan di kementerian agama RI, setelah menerima uang suap dari orang-orang yang ingin mendapatkan keistimewaan.
Istilah komisi ‘basah’ di DPR RI adalah hal yang lazim diketahui bersama, apalagi mereka yang berusuran dengan anggaran negara. Para politisi sudah terbiasa untuk mengutip keuntungan dari proyek-proyek tertentu setelah anggarannya dimodifikasi. Kalangan akademisi menyebutnya sebagai ‘politik transaksional’.
Dalam kacamata keuangan partai, sebagian sarjana politik sepakat bahwa sistem keuangan partai yang bermasalah, tidak transparan, dan tidak akuntabel adalah sumber masalah dana gelap dalam pembiayaan partai. Masalahnya, kita juga tidak bisa serta-merta menyebut bahwa dana gelap yang mengalir lewat koneksi personal politisi adalah untuk pembiayaan partai. Kita hanya bisa menduga karena gejalanya sangat jelas: adanya usaha kader partai untuk mendapatkan dana gelap melalui koneksi personal sebagai ekses biaya demokrasi yang sangat mahal.
Intinya, dana gelap dalam pembiayaan partai adalah sesuatu yang ada dan nyata. Instrumen hukum kita tidak memiliki kekuatan untuk menjangkau dan mengaturnya. Yang jelas, banyak kasus korupsi muncul dari model penggalangan dana gelap ini.
Memulai Reformasi Keuangan Partai Politik
Meningkatkan subsidi negara bagi partai memang penting untuk mengatasi biaya demokrasi yang sangat mahal. Namun, itu saja tidak cukup. Kita butuh reformasi keuangan partai guna menutupi lubang besar yang ada di dalam desain institusi kepartaian di Indonesia. Dalam hal ini, aturan tentang pembiayaan partai yang tercantum dalam UU Partai Politik maupun UU Pemilu saja tidak memadai.
Kita butuh perangkat aturan yang lebih komprehensif, yaitu UU tentang Keuangan Partai Politik. Dalam UU Partai Politik, misalnya, ketentuan mengenai jumlah pengeluaran partai hampir tidak diatur sama sekali. Padahal, mengatur aspek pengeluaran sangat penting, yang tidak hanya membatasi besaran belanja, melainkan juga untuk membentuk kompetisi antarpartai yang setara.
Partai politik yang bisa mendominasi kekuasaan negara bergantung pada seberapa banyak uang yang dimiliki partai. Ini jelas tidak adil, karena setiap partai tidak memiliki sumber daya material yang sama.Alasan mengapa ada partai-partai berskala besar adalah kemampuan finansialnya untuk membuat kegiatan berbiaya mahal -sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh partai kecil dan medioker. Sejauh ini, ukuran sebuah partai dikatakan besar atau tidak dilihat dari sejauh mana kapasitas finansial partai tersebut.
Itulah mengapa aspek pengeluaran juga harus dibatasi. Konsekuensinya, sistem kepartaian dan kepemiluan ini juga harus didesain ulang agar tidak menelan biaya yang besar.
Hal penting lainnya yang menjadi lubang besar dalam aturan keuangan partai politik adalah lemahnya pengawasan dari pemerintah. Partai politik memang wajib membuat laporan keuangan tahunan, hanya saja, tidak ada lembaga negara yang ditunjuk untuk menerima laporan. Dalam hal audit keuangan, partai politik menunjuk sendiri auditor publik, dan tidak dilakukan oleh negara. Sejauh ini, hanya laporan penggunaan dana dari bantuan negara saja yang diawasi dan dilaporkan kepada pemerintah.
Kita butuh lembaga negara yang mengawasi keuangan partai, entah KPU maupun Mahkamah Agung -seperti amanat UU Partai Politik tahun 1999 dan 2002. Ini pun harus beriringan dengan penguatan institusional melalui pembentukan UU Keuangan Partai Politik. Apabila aspek pemasukan dan pengeluaran diatur dengan lebih ketat, negara bisa meningkatkan pengawasan terhadap keuangan partai.
Di Eropa Barat, partai politik diberikan subsidi oleh negara hingga 80 persen dari total kebutuhan belanjanya. Model seperti itu mungkin saja dilakukan di Indonesia dengan meningkatkan bantuan hingga, misalnya, maksimal 50 persen dari total kebutuhan partai dan tidak lebih. Pembatasan bantuan dilakukan agar kemandirian partai dalam membangun ikatan dengan anggota tidak terabaikan karena partai terlalu bergantung pada sumber finansial dari negara. Namun, peningkatan persentase ini tidak akan bisa dibuat, jika pemasukan dan pengeluaran partai yang riil saja tidak diketahui.
Oleh sebab itu, penting untuk meminimalisasi peluang aliran dana gelap. Satu-satunya jalan adalah meningkatkan transparansi dan akuntabilitas partai, yang bisa dilakukan melalui pengetatan aturan keuangan sebagai langkah awal reformasi. Dengan demikian, persaingan antarpartai bisa berlangsung lebih sehat. Tidak ada lagi partai yang semena-mena mendominasi hanya karena memiliki uang paling banyak.
Itulah mengapa keuangan partai harus diatur lebih rinci. Agar statusnya lebih kuat, menurut saya, dibutuhkan UU tersendiri yang mengatur keuangan partai.