Secara teoretis, kebijakan fiskal sering dikategorikan sebagai pendekatan ekonomi-politik (political economy). Mengapa begitu? Karena, kebijakan fiskal biasanya terkait dengan masalah “pilihan politik” yang terkadang unsur keberpihakannya sangat besar.
Implikasinya, secara alamiah muncul kelompok yang tersisih dan diuntungkan. Wajar saja, jika muncul pro dan kontra terhadap pilihan kebijakan fiskal oleh pemerintah. Tak terhindarkan pula terjadinya segregasi pendapat kelompok pendukung pemerintah dan oposisi. Dan karena itu, keberadaan kelompok non-partisan yang obyektif menjadi penting.
Belakangan ini muncul kritikan, kebijakan fiskal pemerintah sudah terlalu eksesif dalam pembangunan infrastruktur. Bahkan, ada pendapat yang memandang kebijakan ekspansif tersebut akan berujung pada krisis. Benarkah?
Menurut tesis tersebut, pembangunan infrastruktur telah menimbulkan ekses likuiditas berlebihan akibat kebijakan big push oleh pemerintah di bidang infrastruktur, sehingga diperlukan respons cepat berupa pengetatan likuiditas. Sementara, tesis lainnya menyebutkan pembangunan infrastruktur akan membebani current account deficit(defisit transaksi berjalan) akibat melonjaknya impor bahan baku.
Kritikan tersebut mengandung unsur kebenaran, meski dengan logika yang agak dipaksakan. Kalaupun ada gejala peningkatan risiko, bukan berarti harus mengubah total orientasi kebijakan.
Kalupun ada trade off dari kebijakan tersebut, misalnya kenaikan impor bahan baku, bukan berarti pembangunan infrastruktur harus dihentikan. Sebaliknya, kalaupun kritik tersebut lebih banyak muatan politis ketimbang argumen ekonominya, sebaiknya tetap perlu diperhatikan sebagai masukan penting guna memperbaikan kebijakan ke depan.
Efek pada Anggaran
Kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif memang berpotensi memunculkan dua implikasi umum, yaitu crowding-out effect dan overinvestment. Gejala pertama terjadi tatkala pemerintah menarik likuiditas terlalu besar di pasar keuangan melalui penerbitan surat utang, sehingga memberi tekanan pada pasar.
Salah satu dampaknya, suku bunga perbankan tak bisa diturunkan, karena harus bersaing dengan pemerintah untuk mendapatkan dana pihak ketiga. Apalagi, dalam situasi sektor keuangan yang masih dangkal seperti terjadi pada perekonomian kita.
Gejala kedua ditandai dengan menipisnya efek marginal investasi di bidang infrastruktur. Ekspansi tak diikuti peningkatan produktivitas dan output ekonomi. Perekonomian Tiongkok belakangan ini dianggap telah mengalami overinvestment, sehingga mereka mulai mengerem pembangunan infrastruktur di dalam negeri.
Sebagai gantinya, mereka banyak mendorong pembangunan infrastruktur di luar negeri. Proyek kereta api cepat Jakarta Bandung serta rencana pembangunan megapolitan baru Meikarta salah satunya.
Bagi investor Tiongkok, terutama perusahaan yang terafiliasi dengan pemerintah (BUMN), berapapun likuiditas yang dibutuhkan akan digelontorkan. Sebab, ini merupakan turunan dari garis kebijakan pemerintah One Belt One Road (OBOR).
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan total ruas jalan tol yang dioperasikan selama pemerintahan Jokowi-JK dari hingga 2016 telah mencapai 176 kilometer, dan pada akhir 2017 diperkirakan menjadi 568 km.
Target selama 5 tahun pemerintahan adalah 1.851 km. Pekan lalu, Presiden pun kembali meresmikan jalan tol. Kali ini ruas Kualanamu-Tebing Tinggi sepanjang 42 kilometer.
Persoalannya, bagaimana efeknya terhadap anggaran. Hingga Agustus 2017, menurut catatan Kementerian Keuangan, defisit anggaran mencapai Rp 224 triliun atau setara dengan 1,64 persen terhadap Produk Domestik Bruto.
Angka tersebut lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu sebesar 2,09 persen. Meski begitu, mengingat penerimaan pajak tidak sesuai harapan, diperkirakan defisit anggaran hingga akhir tahun ini bisa mencapai 2,9 persen, yang berarti sangat dekat dengan batas maksimum yang diperbolehkan Undang-Undang.
Tentu saja, jika sampai melanggar UU, implikasi politiknya akan signfikan. Bahkan ketika secara ekonomi bisa dipertanggungjawabkan sekalipun. Untuk itu, pemerintah harus berupaya maksimal agar tidak melanggar, dengan alasan sangat sederhana, yaitu supaya tidak menimbulkan kegaduhan politik.
Beberapa proyek besar yang biasanya bersifat multitahun perlu dikelola agar beban anggaran bisa digeser ke tahun depan. Konsekuensinya, beberapa proyek mundur penyelesaiannya.
Kritik agar pemerintah memperbaiki tata kelola dan manjemen risiko pembangunan infrastruktur patut didengar. Meski arahnya sudah benar, dan tujuannya diyakini positif dalam jangka panjang, dalam jangka pendek perlu dipastikan tak menimbulkan komplikasi. Apalagi sebagian besar proyek infrastruktur pemerintah dikerjakan oleh BUMN karya. Bahkan ada beberapa yang bersifat penugasan.
Jangan sampai niat baik yang kurang terkelola, justru akan menimbulkan efek negatif, meningkatkan profil risiko baik pada level korporasi pelaksana proyek maupun makro ekonomi terkait anggaran. Ambisi pemerintah mau tidak mau harus bisa dikelola.
Di manapun, pembangunan infrastruktur akan menjadi beban dalam jangk pendek, namun jika dikelola dengan baik, akan menimbulkan efek berganda dalam jangka panjang. Pemerintah tentu perlu memastikan efek jangka pendeknya bisa dikendalikan, sementara momentum jangka panjangnya tetap terjaga.
Mungkin saja ekspansi pembangunan infrastruktur sedikit menimbulkan tekanan pada pasar (crowding-out effect), namun sepertinya belum sampai mengarah ke risiko overinvestment. Apalagi sampai menjerumuskan perekonomian ke jurang krisis. Justru sebaliknya, tranformasi perekonomian tengah terjadi. Namun, tentu saja pembangunan infrastruktur saja tak cukup.
Orientasi Produktivitas
Harus diakui, akibat tingginya ambisi pemerintah membangun infrastruktur, terkadang aspek manajemen risikonya sering diabaikan. Acapkali, berbagai proyek besar miskin studi kelayakan. Contoh paling kelihatan adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, terlihat agak dipaksakan. Acara ground breaking-nya pun sedikit kontroversial.
Ke depan, blunder semacam ini harus dihindari. Meski niatan untuk membangun infrastruktur secara cepat tetap valid dan perlu dijaga momentumnya, perlu ada perbaikan tata kelolanya. Contoh lain adalah pembangunan Light Rail Transit (LRT) yang masih menyisakan skema pendanaan, bahkan ketika proyeknya sudah berjalan.
Pembangunan infrastruktur memang masih sangat diperlukan, dan kekurangan pasokan infrastruktur kita sudah terlalu parah. Namun, membangun tanpa manajemen risiko yang baik juga berbahaya. Apalagi, pembangunan infrastruktur bukanlah segala-galanya. Masih ada banyak aspek lain yang juga harus dikembangkan dalam rangka meningkatkan daya saing dan produktivitas bangsa.
Konsentrasi pada infrastruktur fisik mengakibatkan perkembangan tak sinkron, antara aspek fisik dan non-fisik, termasuk aspek kelembagaan di dalamnya. Sederet persoalan lain, seperti kecakapan sumber daya manusia, juga perlu diperhatikan.
Pilihan yang bisa ditempuh pemerintah saat ini adalah mengerem pembangunan fisik dan mengintensifkan penataan kelembagaan guna memastikan terjadinya peningkatan produktivitas perekonomian. Penataan kelembagaan relatif tak membutuhkan anggaran besar, namun lebih rumit karena menyangkut aparat birokrasi yang begitu kompleks.
Bahkan paket kebijakan ekonomi yang telah digulirkan pun terasa belum maksimal dampaknya, sehingga diperlukan konsolidasi lanjutan. Dengan begitu, pembangunan infrastruktur fisik merupakan bagian integral dari pembangunan kelembagaan dan perekonomian yang bertumpu pada peningkatan produktivitas.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.